ANTISIPASI
DAMPAK KERUGIAN RISIKO KREDIT BPR
SEMUA BANKIR
BPR WAJIB BACA EBOOK INI
ANTISIPASI
DAMPAK KERUGIAN RISIKO KREDIT BPR
PENDAHULUAN
Bank Perkreditan Rakyat atau BPR adalah lembaga keuangan bank yang memiliki
fungsi sebagai lembaga keuangan perantara (intermediary)
yang kegiatan utamanya adalah menghimpun dana masyarakat dalam bentuk
simpanan berupa Tabungan dan Deposito
Berjangka, selanjutnya
menyalurkan
dana tersebut dalam bentuk kredit yang diberikan. Dalam menjalankan kegiatannya
tersebut, BPR senantiasa menghadapi Risiko yang dapat
memberikan dampak terhadap kesehatan dan keberlangsungan operasional BPR tersebut.
Perkembangan
industri Bank Perkreditan Rakyat yang semakin
meningkat, dengan tingkat persaingan yang semakin tajam, dan juga kebutuhan
masyarakat atas pelayanan jasa keuangan yang lebih bervariasi, mudah, dan cepat
diiringi dengan perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, mendorong BPR, untuk lebih
meningkatkan produk dan pelayanannya yang pada gilirannya akan meningkatkan risiko pada BPR. Peningkatan risiko ini harus diimbangi
dengan peningkatan pengendalian Risiko. Penerapan manajemen risiko selain ditujukan bagi BPR dalam rangka melindungi
pemangku kepentingan BPR seperti
pemegang saham, pemerintah, regulator, pegawai masyarakat dan lain sebagainya.
Berkaitan
dengan hal tersebut, maka BPR harus
melindungi kegiatan usahanya dari risiko yang berpotensi merugikan, salah satunya adalah risiko kredit yang dapat
memberikan dampak pada keterbatasan likuiditas, hambatan operasional,
pelanggaran kepatuhan, dan menjadikan reputasi BPR menjadi buruk yang pada
akhirnya dapat menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat kepada BPR. Hal ini
tentu sangat merugikan, karenanya BPR saat ini dalam meningkatkan kualitas
operasionalnya, wajib memperhatikan penerapan manajemen
risiko kredit secara benar dan
konsisten, sesuai dengan regulasi dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang
berlaku, dan dituangkan dalam bentuk Pedoman Standar Operasional Prosedur
terkait Penerapan Manajemen Risiko
Kredit.
Implementasi manajemen risiko kredit sudah menjadi sebuah kebutuhan, sebagai salah
satu risiko yang harus menjadi perhatian utama manajemen BPR, selain
sejalan dengan regulasi Otoritas
Jasa Keuangan (OJK), juga memperhatikan
pada situasi dan kondisi di mana risiko kredit BPR semakin tinggi, sehingga
diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi
internal BPR,
untuk menjaga agar BPR
senantiasa memiliki daya tahan pada berbagai situasi. Implementasi manajemen risiko kredit merupakan sebuah
kebutuhan BPR
dalam mengelola risiko kredit yang
dihadapi, baik pada kondisi normal maupun pada saat terjadi krisis, sehingga BPR dapat meningkatkan kinerja operasionalnya
dari waktu kewaktu.
Berdasarkan uraian di atas,
penulis tertarik untuk melakukan penelitian membahas tentang dampak risiko kredit terhadap
kelanjutan operasional BPR dan upaya
mencegahnya sehingga dapat meningkatkan kinerja operasional BPR yang sehat dan
kokoh. Penelitian dilakukan dengan cara mengkaji sumber data dari Data
Statistik Perbankan Indonesia yang oleh diterbitkan Otoritas Jasa Keuangan,
Peraturan Otoritas jasa Keuangan terkait Penerapan Manajemen Risiko, Peraturan
Bank Indonesia terkait Kebijakan Kredit dan Literatur yang terkait penelitian.
MEMAHAMI RISIKO KREDIT
MEMAHAMI RISIKO KREDIT
Aktivitas utama Bank Perkreditan Rakyat atau BPR adalah
memberikan kredit kepada masyarakat dengan tujuan agar kredit tersebut dapat
bermanfaat sesuai kebutuhan nasabah, dan memberikan keuntungan kepada BPR dalam
bentuk penerimaan bunga kredit. Pemberian kredit merupakan salah satu cara
untuk meningkatkan jumlah aktiva produktif BPR, yang dapat berdampak langsung
pada peningkatan aktiva BPR secara keseluruhan.
Kredit merupakan aktiva produktif
berisiko, artinya kredit memiliki potensi kerugian akibat terjadinya suatu peristiwa
tertentu. Risiko kredit bisa
terjadi di antaranya karena adanya peristiwa wanprestasinya nasabah sebagai
akibat moral hazard atau perilaku
tercela nasabah. Hal ini bisa terjadi karena adanya informasi yang bersifat
asimetris, yaitu dalam pengajuan kredit ke BPR, nasabah lebih tahu tentang
rencana sebenarnya ia mengajukan kredit. Ketidak mampuan pihak BPR dalam
menggali dan menemukan informasi yang akurat dari calon nasabah, merupakan
salah satu penyebab terjadinya perilaku tercela nasabah. Risiko kredit bisa
juga disebabkan karena adanya peristiwa yang sulit untuk dikendalikan oleh
pihak BPR karena adanya faktor eksternal. Sebagai contoh, karena kondisi
perekonomian nasional yang sedang mengalami penurunan, berdampak pada perubahan
harga komoditi perkebunan seperti kelapa sawit dan karet, sehingga BPR yang
memberikan kredit di sektor perkebunan tersebut bisa mengalami ketersendatan
pembayaran kredit. Contoh lainya adalah karena adanya musibah banjir di suatu
daerah, berdampak pada terhambatnya struktur perekonomian masyarakat di sekitar
lokasi yang terkena musibah.Kondisi seperti ini tentunya berpotensi menimbulkan
risiko yang dapat merugikan nasabah dan BPR. Faktor lemahnya internal BPR dan
lemahnya tata kelola pemberian kredit, juga memberikan kontribusi meningkatnya
risiko kredit, seperti kurang profesionalnya staf kredit dalam memproses kredit
dan kurang baiknya kebijakan dan standar operasional prosedur, memberikan
kontribusi terjadinya nasabah wanprestasi, dan kualitas aktiva produktif kredit
menjadi buruk.
Kualitas aktiva produktif kredit dinilai dari tingkat
kelancaran pengem-balian pokok kredit dan pembayaran bunga dari nasabah sesuai dengan
perjanjian kredit yang telah ditanda tangani oleh para pihak, yaitu nasabah dan
BPR. Kelancaran pembayaran kredit menjadi perhatian utama BPR untuk melakukan monitoring
terhadap kualitas pembayaran nasabah. Hal ini dilakukan untuk memantau
kelancaran pembayaran kredit nasabah sesuai dengan perjanjian. Pembayaran
kredit nasabah yang tersendat lambat laun menimbulkan tunggakan yang berdampak
pada terjadinya risiko keterbatasan penyediaan kebutuhan likuiditas harian.
Likuiditas BPR yang tidak tercukupi dapat memengaruhi kemampuan BPR dalam penyaluran
kredit yang baru. Selain itu, tunggakan pembayaran pendapatan bunga kredit,
mempengaruhi kemampuan BPR dalam memperoleh pendapatan operasional dan laba.
ANALISIS
DAMPAK RISIKO KREDIT
Menurut Ali (2004:72), menyebutkan bahwa kredit
bermasalah yang sudah berkualitas macet dapat mempengaruhi likuiditas,
rentabilitas dan solvabilitas bank. Likuiditas bank dapat memburuk, akibat
terjadinya ketidak seimbangan antara cash
in flow dan cash out flow (untuk
membayar bunga dan pelunasan dana masyarakat yang jatuh waktu oleh bank
sendiri). Rentabilitas bank dapat menurun karena dengan terjadinya kredit macet
tersebut sebagian penghasilan bunga bank tidak efektif diterima bank, sementara
bank masih tetap harus membayar bunga atas penempatan dana masyarakat pada
bank. Sedangkan solvabilitas bank menjadi berkurang sebagai akibat dari
bertambahnya kewajiban bagi bank untuk membentuk pencadangan penghapusan aktiva
produktif akibat dari terjadinya kredit macet tersebut. Besarnya ketidak
mampuan bank membentuk pencadangan, pada gilirannya dapat mengakibatkan CAR (Capital Adequacy Ratio) menjadi
berkurang pula.
Indikator risiko kredit yang digunakan BPR didasarkan pada acuan dari otoritas pengawas perbankan
sejak masih dilakukan Bank Indonesia sampai sekarang dengan Otoritas Jasa
Keuangan, yaitu didasarkan pada rasio Non
Performing Loan (NPL). Standar rasio NPL yang sehat adalah sebesar 5%. Semakin
kecil rasio NPL dari 5% semakin sehat, dan semakin meningkat semakin kurang
sehat dan tidak sehat.
Indikator
Rasio Non Performing Loans (NPL) menggunakan formula sebagai berikut :
Rasio
Non Performing Loan = Aktiva Produktif Bermasalah x 100%
Aktiva Produktif
Aktiva
Produktif Bermasalah = Kredit
Kualitas Kurang Lancar, Diragukan dan Macet
Aktiva
Produktif = Jumlah Kredit yang diberikan
Penelitian terhadap sebagian kinerja keuangan yang
terkait dengan risiko kredit dan perkembangan jumlah Bank Perkreditan Rakyat secara
Nasional pada tahun 2013, 2014, 2105 dan Mei 2016 berdasarkan Statistik
Perbankan Indonesia volume 14 Nomor 6 edisi bulan Mei 2016 yang diterbitkan
oleh Otoritas Jasa Keuangan, dapat disajikan pada data sebagai berikut :
Tabel : Perkembangan Kinerja Kredit dan Dampak Risiko
Kredit BPR Nasional
Tahun 2013, 2014 dan Mei 2016
Miliar Rp.
Indikator
|
2013
|
2014
|
2015
|
2016
|
Total Kredit
|
59.176
|
68.391
|
74.807
|
78.199
|
Kredit Non Lancar
|
2.610
|
3.252
|
4.018
|
5.046
|
- Kredit Kurang Lancar
|
640
|
773
|
889
|
1.442
|
- Kredit Diragukan
|
537
|
713
|
879
|
964
|
- Kredit Macet
|
1.433
|
1.766
|
2.250
|
2.640
|
Rasio NPL (%)
|
4,41%
|
4,75%
|
5,37%
|
6,45%
|
ROA
|
3,44%
|
2,98%
|
2,71%
|
2,77%
|
Jumlah BPR
|
1.635
|
1.643
|
1.637
|
1.635
|
Jumlah Kantor
|
4.678
|
4.895
|
5.100
|
6.045
|
Sumber : Otoritas Jasa Keuangan
Berdasarkan data pada tabel di atas dapat dianalisis
sebagai berikut :
1. Indikator
Total Kredit BPR dari tahun 2013 sampai dengan 2015 trennya selalu meningkat.
Pada tahun 2013 total kredit sebesar Rp. 59.176 Miliar, dan pada tahun 2014
mengalami peningkatan sekitar 15,57% menjadi sebesar Rp. 68.391 Miliar.
Sedangkan total kredit yang disalurkan BPR pada tahun 2015 sebesar Rp. 74.807 Miliar
atau meningkat sekitar 9,38% dibandingkan dengan tahun 2014. Tren kenaikkan total kredit tersebut
menunjukkan bahwa BPR selama tiga tahun terakhir dinilai cukup berhasil dalam
ekspansi penyaluran kredit, akan tetapi pada tahun 2015 kenaikannya lebih kecil
dari tahun 2014. Artinya BPR mengalami kendala melakukan ekspansi kredit yang
bisa disebabkan karena adanya faktor persaingan yang begitu tajam di mana saat
ini cukup banyak lembaga keuangan bank maupun non bank yang turut menggarap
pangsa pasar BPR. Di samping itu kondisi
perekonomian nasional yang melemah ditahun 2015, menyumbang pertumbuhan kredit
BPR yang tidak sebesar tahun 2014, di mana daya beli masyarakat menggunakan
jasa BPR menurun. Hal yang positif, pada posisi Mei 2016, penyaluran kredit BPR
mengalami pertumbuhan sebesar Rp. 3.392. Miliar atau naik sekitar 4,5%
dibandingkan posisi Desember 2015.
2. Indikator
Kredit Non Lancar yang juga merupakan indikator risiko dalam penyaluran kredit
BPR, trennya mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir ini. Pada tahun
2014, total kredit non lancar BPR sebesar Rp. 3.252 Miliar, atau mengalami
kenaikkan sekitar 24,60% dibandingkan tahun 2013 sebesar Rp. 2.610 Miliar, dan
pada tahun 2015 kembali mengalami kenaikkan sekitar 23,55% dibandingkan tahun
2014 menjadi sebesar Rp. 4.018 Miliar. Selanjutnya pada Mei 2016 kembali
mengalami kenaikkan sekitar 25,58%
dibandingkan dengan tahun 2015 sehingga bakinya menjadi sebesar Rp. 5.046
Miliar. Prosentase indikator risiko kredit pada tahun 2015 kenaikkannya sedikit
lebih rendah dibandingkan tahun 2014. Sedangkan jumlah kredit Non Lancar pada
Mei 2016, kondisinya kurang baik karena baru pada bulan ke lima kredit kenaikkan
kredit Non Lancar BPR telah mencapai 25,58%, atau lebih tinggi dari kenaikkan
kredit Non Lancar.
3. Indikator Kredit Non Lancar yang lebih terinci
dapat dilihat pada masing-masing kolektibiltas kredit. Ada hal yang menarik
untuk dianalisis, yaitu pada kredit dengan kolektibilitas Kurang Lancar. Pada
tahun 2013 Kredit Kurang Lancar sebesar Rp. 640 Miliar, sedangkan pada tahun
2014, Kredit Kurang Lancar mengalami kenaikkan sekitar 20,78% dibandingkan
tahun 2013, menjadi sebesar Rp. 773 Miliar. Pada tahun 2015 Kredit Kurang
lancar, kembali mengalami kenaikkan sekitar 15% menjadi sebesar Rp. 889 Miliar.
Kenaikkan yang terjadi pada tahun 2015 mengalami penurunan dibandingkan dengan
tahun 2014. Artinya BPR sudah berupaya agar kenaikkan kredit bermasalah ditekan
sehingga kalaupun mengalami kenaikkan masih lebih rendah dari pada tahun 2014.
Akan tetapi pada Mei 2016, kredit Kurang Lancar mengalami lonjakkan yang cukup
signifikan yaitu mencapai sekitar 62,20%.
Kondisi ini tentunya cukup memprihatinkan. Hal seperti
ini kemungkinan bisa terjadi disebabkan karena BPR lebih fokus pada ekspasi
kredit besar-besaran, tetapi tidak diikuti dengan prosess kredit yang selektif
karena dianggap terlalu membuang waktu, dan ini berarti ada ketidak sesuaian
dalam proses pemberian kredit dengan kebijakan dan SOP kredit yang telah
disusun, serta lemahnya pemantauan kredit termasuk juga lemahnya tindakan untuk
menangani kredit bermasalah sejak masih awal, sekalipun sebenarnya manajemen
BPR telah lengah dalam memantau kredit ketika masih menunggak dua bulan dan
tiga bulan atau sebelum pindah ke kelompok kualitas bermasalah Kurang Lancar.
Dalam hal kredit yang sudah tergolong
kualitas Macet pada bulan Mei 2016 juga mengalami kenaikkan sekitar 17,33%
dari tahun 2015 di mana bakinya sebesar Rp. 2.250 Miliar dan pada Mei
2016 naik menjadi sebesar Rp. 2.640
Miliar. Kondisi ini mencerminkan bahwa BPR masih belum berupaya optimal untuk
menurunkan jumlah kredit yang tergolong Macet baik dengan cara hapus buku
maupun mengupayakan penyelesaian kredit Macet. Perlu diwaspadai bahwa dengan
terus meningkat-nya jumlah kredit kualitas Macet, maka BPR wajib membentuk 100%
Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, dan ini berarti akan mengurangi
kemampuan BPR dalam memperoleh laba optimal.
4. Dalam hal indikator risiko kredit yang kerap
digunakan BPR adalah rasio Non Performing
Loan (NPL), dan berdasarkan data di atas menunjukkan trennya selama tiga
tahun mengalami kenaikkan, yaitu pada tahun 2013 sebesar 4,41% dan tahun 2014
naik menjadi 4,75% bahkan pada tahun 2015 sudah menembus batas minimum 5% yaitu mencapai angka
5,37%. Selanjutnya pada bulan Mei tahun 2016 rasio Non Performing Loan ini
mengalami kondisi yang kurang sehat sebab sudah melewati angka krusial 5%, yaitu mencapai rasio 6,45%.
Dengan rasio NPL sebesar 6,45% pada bulan Mei 2016, menunjukkan
bahwa kondisi BPR memiliki tingkat risiko kredit yang semakin tinggi dari tahun
ke tahun, dan pada bulan Mei tahun 2016 rasio NPL sudah memasuki ambang kondisi
kurang sehat dibandingkan dua tahun sebelumnya. Risiko kredit yang terus
meningkat dan menembus batas standar sehat 5% ini, tentu saja dapat berdampak
salah satunya pada risiko kemampuan BPR dalam memperoleh Laba, di mana BPR
menggunakan indikator Return on Asset
(ROA). Manajemen BPR harus menyadari bahwa kondisi seperti ini tidak bisa terus
dipertahankan sebab lambat laun akan mengancam Likuiditas dan Operasional BPR
itu sendiri.
4. Indikator
kemampauan BPR dalam memperoleh laba menggunakan rasio Return on Asset (ROA). Berdasarkan data di atas menunjukkan bahwa tren
ROA terus menurun, pada tahun 2013 sebesar 3,44%, tahun 2014 sebesar 2,98% dan
tahun 2015 sebesar 2,71%. Penurunan rasio ROA BPR ini adalah dampak dari semakin
meningkatnya risiko kredit BPR, di mana BPR harus membentuk biaya atas risiko
kerugian kredit yang disebut dengan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif
(PPAP). Semakin besar rasio Non
Performing Loan (NPL) dan semakin tinggi kualitasnya yaitu kualitas
diragukan dan macet, maka semakin besar prosentasi penyisihan penghapusan yang
harus dibentuk, yaitu 50% dan 100% dari baki kredit dikurangi dengan nilai
agunan kredit. Jika agunan kredit tidak ada atau tidak dilakukan pengiakatan
sebagaimana aturan yang berlaku, maka biaya PPAP semakin besar. Selain itu, BPR
yang tidak efisien dalam pengeluaran biaya
over head operasional BPR, hal ini juga menyumbang berkurangnya kemampuan
memperoleh laba.
Pada bulan Mei tahun 2016, di tengah
meningkatnya rasio NLP, posisi rasio Return
on Asset (ROA) sedikit mengalami kenaikkan dari 2,71% pada akhir tahun 2015,
menjadi 2,77%. Kondisi ini dimungkinkan terjadi karena BPR berhasil melakuka
efisiensi biaya dana atau biaya over head, tetapi hal ini bisa juga terjadi karena
BPR masih belum menyesuaikan jumlah penyisihan penghapusan piutang atau PPAP
yang semakin meningkat.
5. Indikator Jumlah BPR yang beroperasi selama
tiga tahun terakhir bisa menjadi sebuah catatan penting bahwa dampak risiko
kredit yang tidak dikendalikan dengan baik, melalui tata kelola kredit yang
didasarkan prinsip kehati-hatian, efektif dan efisien dapat berakibat fatal, dapat
berakibat semakin tingginya risiko operasional, dan pada akhirnya BPR
dilikuidasi. Data di atas menunjukkan bahwa jumlah BPR pada tahun 2013 sebanyak
1.635 BPR, pada tahun 2014 bertambah empat BPR baru menjadi 1.643 BPR dan pada
akhir tahun 2015 jumlah BPR sebanyak1.637 BPR. Data tersebut menunjukkan bahwa
pada tahun 2015 pihak Otoritas jasa Keuangan telah melakukan tindakan tegas
melikuidasi BPR yang bermasalah dan sulit untuk diselamatkan lagi. Dan pada
bulan Mei 2016 jumlah BPR mengalami penurunan menjadi 1.635, yang artinya pihak
Otoritas Jasa Keuangan kembali melakukan likuidasi kepada BPR yang sudah tidak
bisa lagi diselamatkan. Ini sebuah bukti dampak dari risiko kredit yang tidak
dikendalikan, sehingga menimbulkan multi efek kepada risiko yang lainnya.
6. Indikator Jumlah Kantor BPR yang mengalami
peningkatan dalam tiga tahun terakhir, menunjukkan bahwa dampak risiko kredit akan
semakin besar jika BPR pada tahun 2016 tidak berbenah diri. Jumlah kantor BPR
yang meliputi kantor kas dan kantor cabang pada tahun 2013 sebanyak 4.678 kantor BPR, pada tahun
2014 bertambah menjadi sebanyak 4.895 kantor BPR, dan pada tahun 2015 bertambah
menjadi 5.100 kantor BPR.
Pada posisi bulan Mei tahun 2016 jumlah
kantor BPR kembali bertambah menjadi
6.045. Ini artinya jumlah kantor BPR mengalami kenaikkan terbesar mencapai 18,53% dibandingkan tahun 2015.
Setiap wilayah di mana kantor BPR membuka operasional
masing-masing memiliki risiko dalam penyaluran kredit. Meningkatnya jumlah
kantor BPR tentu saja secara otomatis semakin meramaikan kondisi persaingan antar
BPR, Bank Umum dan Lembaga Keuangan Non Bank di pasar Kredit Mikro, Kecil dan
Menengah yang masih menjadi primadona tetapi market share-nya semakin sempit. Di sini SDM BPR menjadi sangat
penting, sebab kondisi perekonomian yang masih lemah dan persaingan yang
semakin tajam bisa mengancam kelanjutan operasional BPR setiap waktu di wilayah
manapun BPR berlokasi, sebagai dampak dari risiko kredit yang tinggi. Peran
Pemimpin Cabang dan seluruh tim kerja BPR tentu diharapkan mampu terus
menumbuhkan usaha BPR. Untuk itu BPR sangat memerluk SDM yang memiliki
kompetensi dan motivasi yang tinggi untuk terus meningkatkan prestasi kerjanya.
Berdasarkan hasil analisis dampak risiko kredit di
atas, memberikan peringatan kepada manajemen BPR untuk memperhatikan budaya
pemberian kredit yang sehat. Sangat sulit BPR mengendalikan faktor internal
dalam pengendalian risiko kredit, karena kondisi perekonomian dan perilaku
masyarakat sudah semakin kompleks. Masyarakat yang memiliki banyak sumber
informasi sebelum menggunakan layanan jasa perbankan, dan kondisi usaha yang
semakin sulit, menjadikan risiko kredit akan selalu mengancam industri BPR di
tanah air. Risiko kredit merupakan salah satu risiko yang harus menjadi
perhatian penting manajemen BPR. Risiko kredit BPR dapat berdampak langsung pada potensi
timbulnya risiko operasional, risiko
kepatuhan, risiko likuidtas dan risiko reputasi.
Tingginya
risiko kredit dalam operasional BPR salah satunya disebabkan masih lemahnya
penerapan Kebijakan dan Standar Operasional Prosedur dalam pemberian kredit.
Dalam rangka menciptakan iklim kredit yang sehat dan meningkatkan kinerja BPR,
pihak regulator BPR telah meminta kepada seluruh BPR untuk menyusun pedoman
kebijakan kredit melalui Peraturan Bank Indonesia Nomor 13/26/PBI/2011 tentang
Perubahan atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas
Aktiva Produktif dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank
Perkreditan Rakyat.
Pada pasal 2A PBI Nomor 13/26/PBI/2011 menyebutkan
bahwa :
1. Dalam rangka penyediaan dana dalam bentuk kredit,
BPR wajib memiliki pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan secara tertulis.
2. Kebijakan perkreditan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) wajib disetujui Dewan Komisaris.
3. Prosedur perkreditan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib disetujui paling kurang oleh Direksi.
4. Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan
aktif terhadap pelaksanaan kebijakan perkreditan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) di atas.
Seiring dengan meningkatnya risiko kredit maka
kebijakan dan standar operasional prosedur pemberian kredit yang disusun
manajemen BPR seperti tertuang dalam modul Sertifikasi Profesi Direksi dan
Komisaris Lembaga Certif, wajib memperhatikan hal-hal sebagai berikut :
1. Bersifat menyeluruh dalam siklus manajemen
kredit ;
2. Dapat menjadi dasar pengambilan keputusan dalam
pengelolaan kredit ;
3. Tidak
bertentangan dengan ketentuan otoritas perbankan ;
4. Berpijak pada
prinsip kehati-hatian ;
5. Mudah
dimengerti ;
6. Selalu
diperbarui ;
7. Tertulis.
UPAYA PENCEGAHAN RISIKO KREDIT
Bank Perkreditan Rakyat atau BPR didirikan dengan
berbagai macam tujuan seperti menjadi agen pembangunan, memberikan pelayanan
yang baik pada masyarakat, mendorong pertumbuhan ekonomi, memenuhi harapan para
pemangku kepentingan seperti pegawai, regulator, pegawai, masyarakat,
pemerintah dan lain sebagainya. Namun, tujuan pokok dari operasional BPR
memberikan nilai tambah dan meningkatkan kekayaan pemegang saham. Agar tujuan
BPR bisa dicapai maka BPR melakukan upaya meningkatkan pertumbuhan bisnis, di
mana BPR perlu meningkatkaninovasi produk dan jasa untuk mendorong pemasaran
produk dan jasa tersebut pada berbagai segmen sesuai dengan rencana kerjanya.
Tujuan operasional BPR dalam meningkatkan pertumbuhan
bisnisnya, dengan meningkat-kan efisiensi dan pengelolaan risiko pada umumnya
tidak sejalan, dan ini berdampak pada kinerja BPR tersebut. Meningkatnya risiko
yang dihadapi BPR pada saat ini, maka
semakin meningkat pula kebutuhanBPR terhadap penerapan manajemen risiko yang
konsisten dan selalu menyesuai-kan dengan situasi dan kondisi bisnisnya,
sehingga kinerja BPR meningkat.
Menurut Soedarto (2007:327), bank yang menghadapi
risiko kredit yang besar ditandai dengan besarnya kredit Non Performing akan menghadapi memburuknya cash inflow yang dampaknya dapat menimbulkan risiko likuiditas dan
risiko lainnya. Penyebab timbulnya risiko kredit dapat terjadi karena faktor
intern dan faktor ekstern. Kegagalan pemberian kredit BPR selama ini
menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah lemahnya manajemen perkreditan di
samping penyebab ekstern yang disebabkan oleh nakalnya nasabah, gagalnya usaha,
dan tidak diketahuinya lokasi nasabah yang bersangkutan. Ada beberapa bank yang
menganggap bahwa pemberian kredit merupakan bagian utama untuk mempertahankan
kelangsungan hidupnya, secara agresif mencari nasabah-nasabah baru untuk kredit
konsumsi dan kredit modal komersial yaitu kredit modal kerja dan kredit
investasi. Dengan meningkatnya persaingan yang dihadapi perbankan dewasa ini,
dan terbatasnya nasabah-nasabah yang layak untuk diberikan kredit. membuat
lingkungan perbankan menjadi risiko tinggi dalam pemberian kredit.
Lingkungan internal dan eksternal BPR yang berkembang
dengan pesat disertai dengan risiko kegiatan usaha BPR yang semakin kompleks,
menuntut BPR menerapkan manajemen risiko secara displin dan konsisten. Penerapan
manajemen risiko pada BPR berperan besar dalam upaya meningkatkan shareholder value melalui penerapan
strategi bisnis berbasis risiko.
2. Risiko Operasional
3. Risiko Kepatuhan
4. Risiko Likuiditas
5. Risiko Reputasi
6. Risiko Stratejik
Menurut Ikatan Bankir Indonesia dalam bukunya
Manajemen Risiko, Penerapan manajemen risiko memberikan gambaran kepada
pengelola bank mengenai potensi kerugian di masa mendatang, serta memberikan
informasi untuk membuat keputusan yang tepat sehingga dapat membantu pengelola
bank untuk meningkatkan daya saing.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai pengawas dan
regulator BPR, melakukan upaya pencegahan agar BPR tidak terpuruk sebagai
dampak risiko kredit yang semakin meningkat dalam kegiatan usahanya, dengan
menerbitkan Peraturan yang mengharuskan BPR untuk menerapkan manajemen risiko.
Penerbitan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat yang wajib dipenuhi oleh BPR, merupakan
salah satu upaya otoritas
pengawas BPR dalam memperkuat kelembagaan dan
meningkatkan reputasi industri Bank Perkreditan Rakyat sesuai dengan arah
kebijakan pengembangan Bank Perkreditan Rakyat. Penguatan kelembagaan dan peningkatan
reputasi industri Bank Perkreditan Rakyat diharapkan dapat menciptakan sektor
keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil serta memiliki daya saing
yang tinggi.
Menurut Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat terdapat lima risiko yang harus dikelola BPR berdasarkan struktur Kepemilikan Modal, yaitu :
1. Risiko Kredit
Risiko kredit adalah Risiko akibat kegagalan debitur dan/
atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada BPR.
2. Risiko Operasional
Risiko Operasional adalah Risiko yang antara lain disebabkan
adanya ketidak cukupan dan/atau tidak berfungsinya proses intern, kesalahan
sumber daya manusia, kegagalan sistem, dan/atau adanya masalah ekstern yang
dapat mempengaruhi operasional BPR.
3. Risiko Kepatuhan
Risiko Kepatuhan adalah Risiko akibat BPR tidak mematuhi dan/
atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain
termasuk Risiko akibat kelemahan aspek hukum.
4. Risiko Likuiditas
Risiko
Likuiditas adalah Risiko akibat ketidak mampuan BPR untuk memenuhi kewajiban
yang jatuh tempo dari sumber pendanaan arus kas dan/atau aset likuid
berkualitas tinggi yang dapat diagunkan, tanpa mengganggu aktivitas dan/atau
kondisi keuangan BPR.
5. Risiko Reputasi
Risiko
Reputasi adalah Risiko akibat menurunnya tingkat kepercayaan pemangku
kepentingan yang bersumber dari persepsi negatif mengenai BPR.
6. Risiko Stratejik
Risiko Stratejik adalah Risiko akibat ketidaktepatan BPR dalam
pengambilan dan/atau pelaksanaan suatu keputusan stratejik serta kegagalan BPR
dalam mengantisipasi perubahan lingkungan bisnis.
Ditinjau dari permodalan, pada saat
ini masih banyak BPR yang memiliki modal inti kurang dari Rp. 15.000.000.000,-.
Menurut Data Statistik Perbankan Indonesia, pada akhir tahun 2015 jumlah BPR
yang memiliki Aset kurang dari Rp. 10.000.000.000,- sebanyak 377 BPR dari 1.637
BPR. Namun demikian, sangat mungkin BPR yang jumlah asetnya di atas Rp.
10.000.000.000,- tersebut jumlah modal intinya kurang dari Rp. 15.000.000.000,-
. Penerapan manajemen risiko terhadap BPR yang memiliki modal
inti kurang dari 15.000.000.000,-, berdasarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.03/2015 tanggal 3 November 2015, tentang Penerapan Manajemen Risiko
Bagi Bank Perkreditan Rakyat dengan
struktur permodalan seperti tercantum pada pasal 3
ayat 4, maka BPR yang memiliki modal inti
kurang dari 15.000.000.000,- wajib menerapkan Manajemen Risiko
paling sedikit ada 3 (tiga) risiko, yaitu
Risiko Kredit, Risiko Operasi dan Risiko Kepatuhan.
Risiko kredit adalah risiko
akibat kegagalan debitur dan/atau pihak lain dalam memenuhi kewajiban kepada
BPR. Risiko operasional adalah
risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidak cukupan
dan/atau tidak berfungsinya proses intern, kesalahan sumber daya manusia,
kegagalan sistem, dan/atau adanya masalah ekstern yang dapat mempengaruhi
operasional BPR.
Dan risiko kepatuhan adalah risiko
akibat BPR tidak mematuhi dan/ atau tidak melaksanakan peraturan
perundang-undangan dan ketentuan lain termasuk Risiko akibat kelemahan aspek hukum.
Terjadinya
risiko kredit dapat
bersumber dari aktivitas usaha BPR dalam pemberian kredit. Risiko
Kredit dapat meningkat karena terkonsentrasinya penyediaan dana, antara lain
pada debitur, wilayah geografis, produk, atau lapangan usaha tertentu. Risiko
ini lazim disebut Risiko Konsentrasi Kredit.
Mengingat risiko kredit dapat berdampak pada kelanjutan operasional jangka
pendek dan jangka panjang, maka manajemen BPR harus menerapkan manajemen risiko
kredit sebagai bagian dari upaya BPR untuk memastikan bahwa aktivitas
penyediaan dana BPR tidak terekspos pada risiko kredit yang dapat menimbulkan
kerugian pada BPR.
Tujuan utama manajemen
risiko kredit adalah untuk memastikan
bahwa aktivitas penyediaan dana BPR tidak terekspos pada risiko kredit yang
dapat menimbulkan kerugian pada BPR. Secara umum eksposur risiko kredit
merupakan salah satu eksposur risiko utama sehingga kemampuan BPR untuk
mengidentifikasi, mengukur, memantau, dan mengendalikan risiko kredit serta
menyediakan modal yang cukup bagi risiko tersebut sangat penting.
Upaya pencegahan yang
dilakukan pihak regulator ini tidak akan berjalan efektif jika pihak menajemen
BPR hanya menganggap peraturan tersebut sebagai hal yang biasa saja, padahal jika
manajemen risiko tersebut diterapkan secara konsisten dengan pengawasan aktif
Direksi dan Dewan Komisaris yang baik dan berkelanjutan, maka operasional BPR
dapat terlindungi dari risiko kredit yang dapat mengancam operasional BPR baik
secara perlahan-lahan tetapi pasti akan berdampak pada buruknya layanan
operasional dan reputasi BPR tersebut di masyarakat. Tentu kondisi ini sangat
tidak diinginkan, sehingga sudah seharusnya manajemen BPR fokus membenahi dan
menerapkan manajemen risiko kredit yang selama ini masih lemah, agar dampak
risiko kredit dapat dikendalikan, sehingga BPR dapat terus beroperasi dengan
lancar, sehat dan semakin dipercaya oleh masyarakat, yang pada akhirnya dapat
memberikan manfaat kepada seluruh pemangku kepentingan di BPR tersebut.
KESIMPULAN
Berdasarkan analisis data dan pembahasan penelitian
yang telah diuraikan, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1. Lingkungan
internal dan eksternal BPR yang berkembang dengan pesat disertai dengan risiko
kegiatan usaha BPR yang semakin kompleks, menuntut BPR menerapkan manajemen
risiko secara displin dan konsisten. Penerapan manajemen risiko pada BPR
berperan besar dalam upaya meningkatkan shareholder
value melalui penerapan strategi bisnis berbasis risiko.
2. Indikator Risiko Kredit yang dihadapi BPR selama
tahun 2013 sampai dengan Mei 2016 menunjukkan kondisi yang kurang sehat. Hal
ini bisa mengancam kelanjutan operasional BPR jika tidak ditangani dan dikelola
dengan baik. Data membuktikan bahwa Risiko Kredit yang semakin tinggi telah
memberikan dampak pada menurunnya kemampuan BPR dalam memperoleh Laba. Sejak
tahun 2014 sampai dengan Mei 2016, kemampuan BPR memperoleh Return On Asset
(ROA) masih di bawah 3%.
3. Faktor
penyebab tingginya risiko kredit dalam operasional BPR pada tiga tahun terakhir,
meliputi faktor persaingan yang begitu tajam dan BPR mempermudah persyaratan
dan proses yang begitu cepat agar dapat melakukan ekspansi yang tinggi ditambah
dengan faktor internal BPR terutama karena kurangnya SDM yang memiliki
kompetensi dan integritas dalam bekerja, juga karena masih kurangnya dalam
pelaksanaan kebijakan dan standar operasional prosedur kredit secara konsisten.
4. Peningkatan
risiko kredit yang dihadapi BPR dalam bentuk meningkatnya biaya penyisihan
penghapusan piutang (PPAP) dan tingginya biaya dana, serta biaya operasional
dengan pembukaan kantor yang semakin bertambah, dapat berdampak pada kemampuan
BPR dalam memperoleh laba.
5. Dalam rangka meningkatkan kinerja BPR, manajemen BPR wajib menerapkan
manajemen risiko kredit, sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan. Penerapan
manajemen risiko kredit merupakan satu
upaya dalam melakukan antisipasi terhadap risiko yang pada akhirnya dapat
merugikan BPR. Manajemen risiko yang harus diterapkan BPR meliputi, risiko
kredit, risiko operasional, risiko kepatuhan, risiko likuiditas, risiko
kepatuhan dan risiko reputasi. Kondisi ini dilakukan mengingat adanya BPR yang
dilikuidasi sebagai akibat tidak mampu mengelola risiko kredit dan akhirnya berdampak
pada risiko operasional BPR sehingga tidak lagi memiliki kemampuan beroperasi
secara sehat.
6. Ruang lingkup manajemen risiko kredit di BPR meliputi, pengawasan
aktif Dewan Komisaris dan Direksi, yang didukung dengan adanya kecukupan
kebijakan, prosedur dan limit, diperlukan kecukupan proses identifikasi risiko,
sistem pengukuran, pemantauan, pengendalian risiko dan sistem informasi
manajemen risiko kredit, dan juga menerapkan sistem pengendalian intern yang
menyeluruh.
SARAN
Saran yang
diberikan dalam rangka mengendalikan risiko kredit
pada Bank Perkreditan Rakyat sebagai berikut :
1. BPR sebaiknya
terus meningkatkan ekpansi kredit, dengan memperhatikan prinsip pemberian
kredit yang sehat dengan berpedoman pada kebijakan dan standar operasional
prosedur yang disesuaikan dengan regulasi dan kondisi bisnis BPR. Dalam
ekspansi kredit BPR sebaiknya memfokuskan pada sektor yang risikonya bisa
dikendalikan, memperhatikan Batas Maksimum Pemberian Kredit, mengukur risiko
dalam setiap proses kredit, meningkatkan aktivitas monitoring paska pemberian
kredit, melakukan pembinaan dan pengawasan yang konsisten dan berkesinambungan.
Hal ini dilakukan agar kualitas kredit menjadi sehat, dan tercipta efisiensi
yang tinggi sehingga berdampak pada meningkatnya pelayanan dan daya saing
operasional BPR.
2. BPR sebaiknya
memiliki skala prioritas dalam menangani kredit bermasalah yang menunggak dua
sampai dengan tiga bulan, dan berupaya menyelesaikan
kredit yang tergolong kurang lancar agar kembali lancar, dengan melakukan
penyelamatan kredit terhadap nasabah yang dinilai masih bisa dilakukan penjadwalan
ulang kembali. Hal ini dimaksudkan agar BPR dapat menurunkan rasio Non Performing Loan (NPL) lebih
signifikan. Selanjutnya, BPR dapat membuatkan prioritas terhadap kredit
kualitas Diragukan dan Macet dengan membentuk tim kerja, atau jika sudah
memiliki Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang mencukupi dapat
dilakukan hapus buku terlebih dahulu (write
off).
3. Meskipun pihak regulator masih memberi
tenggang waktu yang cukup panjang untuk BPR menerapkan manaemern risiko secara
keseluruhan seperti dimaksud dalam Peratura Otoritas Jasa Keuangan Nomor
13/POJK.03/2015 tentang Penerapan Manajemen Risiko bagi Bank Perkreditan Rakyat
yang wajib dipenuhi oleh BPR, tetapi BPR harus segara melaksanakan rencana tindak yng telah disusun dan
dilaporkan ke Otoritas Jasa Keuangan, khususnya yang berhubungan dengan
penerapan manajemen risiko kredit agar BPR dapat memperbaikan kinerjanya
sehingga dapat menjadi BPR yang sehat dan kokoh dalam melayani masyarakat.
4. Sebaiknya BPR juga memperhatikan Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM)
sebab tanpa SDM yang andal, terampil dan memiliki motivasi tinggi sulit bagi
BPR tumbuh dengan sehat. Pengembangan SDM harus terus dilakukan dengan
melakukan pelatihan-pelatihan sesuai kebutuhan dan memanfaatkan dana pendidikan
yang wajib dibentuk untuk pemerataan keahlian teknis dan motivasi.
5. Sebaiknya Manajemen BPR lebih memberdayakan Internal Audit termasuk
Manajemen Kepatuhan secara terarah sehingga seluruh kebijakan dan SOP yang telah
disusun dapat dipastikan bisa berjalan dan dilaksanakan sesuai dengan pedoman
kerja, hal ini dimaksudkan agar risiko terjadinya perilaku tercela oleh oknum
BPR dapat dihindari sehingga reputasi BPR tetap baik, dan semakin meningkatkan
kepercayaan dari nasabah dan masyarakat.
TENTANG PENULIS
Wangsit
Supeno, SE, MM, CHA, CHt, CI adalah Alumni Praktisi BPR. Saat ini berprofesi sebagai Trainer,
Motivator dan Hypnotherapist, dengan mendirikan BPR Smart Solution dan Quantum
Transformasi Nusantara. Ia juga seorang Fasilitator Terakreditasi
Sertikasi Profesi
Direksi dan Komisaris Bank Perkreditan Rakyat, Lembaga Sertifikasi
Profesi Lembaga Certif Jakarta. Saat ini ia juga sebagai Akademisi dengan
status Dosen tetap AMIK Bina Sarana Informatika Jakarta. Dan ia juga adalah
seorang Pemerhati Industri Bank Perkreditan Rakyat.
Untuk
mengundang dalam acara in house training BPR dapat menghubungi :
0818-0756-3436. Email : wangsit.esd@gmail.com.