BANK PERKREDITAN
RAKYAT
Sumber : http://investasi.kontan.co.id/news/ |
Definisi Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
BPR adalah Bank
yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasarkan prinsip
syariah, yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas
pembayaran.
Kegiatan BPR jauh
lebih sempit jika dibandingkan dengan kegiatan bank umum karena BPR dilarang
menerima simpanan giro, kegiatan valas, dan perasuransian.
Kegiatan Usaha Bank Perkreditan Rakyat (BPR)
Berikut
usaha yang dapat dilaksanakan oleh BPR :
- Menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan berupa deposito berjangka, tabungan, dan/atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu;
- Memberikan kredit;
- Menyediakan pembiayaan dan penempatan dana berdasarkan Prinsip Syariah, sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia;
- Menempatkan dananya dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI), deposito berjangka, sertifikat deposito, dan/atau tabungan pada bank lain.
TABUNGAN BANK
PERKREDITAN RAKYAT
Selama
ini data menunjukkan bahwa sebagian besar orang datang ke BPR tidak untuk
menabung melainkan untuk mengajukan kredit. Kemudian pada saat pencairan mereka bersedia
membuka tabungan di BPR, hanya untuk memenuhi salah satu syarat berupa
pembukaan Tabungan Wajib, bukan didorong oleh kesadaran bahwa menabung itu
Baik dan bermanfaat. Akibatnya, banyak orang yang
masih belum mengetahui bahwa BPR yang kantornya tersebar mulai dari kota hingga
desa telah mengembangkan produk tabungan yang mampu menyentuh
sektor informal dan ibu rumah tangga.
Menabung di BPR juga dapat dilakukan dengan jumlah setoran kecil dalam bentuk uang receh. Uang receh selama ini mungkin sering dibiarkan tercecer di rumah karena nilainya sangat kecil, padahal dengan menabung uang receh ke BPR, berarti kita telah ikut meningkatkan manfaat uang receh yang sangat dibutuhkann sebagai alat transaksi di lingkungan usaha eceran seperti di pasar tradisional, warung, toko pracangan, dan lain-lain.
Manfaat Menabung di BPR
Menabung di BPR juga dapat dilakukan dengan jumlah setoran kecil dalam bentuk uang receh. Uang receh selama ini mungkin sering dibiarkan tercecer di rumah karena nilainya sangat kecil, padahal dengan menabung uang receh ke BPR, berarti kita telah ikut meningkatkan manfaat uang receh yang sangat dibutuhkann sebagai alat transaksi di lingkungan usaha eceran seperti di pasar tradisional, warung, toko pracangan, dan lain-lain.
Manfaat Menabung di BPR
1.
Suku
bunga tabungan BPR kompetitif dan menarik.
2.
Biaya
administasi ringan bahkan ada yang bebas biaya.
3.
Jaringan
kantor BPR tersebar dari kota hingga ke desa.
4.
Saldo
minimum tabungan rendah dan setoran selanjutnya juga
kecil.
5.
Setoran
tabungan dapat dilakukan dengan uang pecahan kecil atau receh.
6.
Tabungan
di BPR dapat digunakan sebagai agunan
kredit.
7. Layanan
jemput bola oleh petugas BPR sehingga tidak perlu repot mendatangi kantor
BPR.
8. BPR
dapat melayani tabungan secara berkelompok sebagai bagian dari
pembiayaan.
9. Tabungan
di BPR dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sesuai dengan ketentuan dan
persyaratan yang berlalu.
Hal-hal
yang Perlu Diperhatikan Dalam Menabung di BPR
- Mintalah informasi yang sejelas-jelasnya tentang ketentuan saldo minimum, bunga, dan biaya administrasi bulanan, agar saldo tabungan anda tidak terkikis habis oleh biaya administrasi yang dibebankan oleh BPR.
- Tanyakan berapa suku bunga yang dijamin oleh Lembaga Penjamin Simpanan(LPS) agar tabungan Anda aman.
- Periksalah selalu saldo tabungan baik saat menyetor maupun menarik tabungan.
KREDIT
BPR
BPR
menyediakan fasilitas kredit untuk :
- Modal kerja.
- Investasi pendukung usaha misalnya untuk membeli mesin ataupun kendaraan.
- Konsumsi misalnya untuk biaya pendidikan dan renovasi rumah.
Yang
Harus Diperhatikan
1. Ajukan kredit sesuai
dengan kebutuhan dan kemampuan. Jangan berlebihan.
2. Kelayakan usaha menjadi
salah satu faktor penentu dalam keputusan pemberian
kredit.
3. Jaminan diperlukan untuk menambah
keyakinan BPR.
4. Jaminan dapat berupa
antara lain sertifikat tanah, girik, dan dapat juga BPKB
kendaraan.
Apa
yang harus dilakukan
1. Ajukan langsung ke kantor BPR dan
minta nomor telepon untuk memudahkan komunikasi.
2. Jangan lupa membawa persyaratan
yang diperlukan dengan lengkap.
3. Kemukakan kebutuhan usaha kita
dengan sebenarnya.
4. Tanyakan bagaiamana cara
menghitung angsuran pokok dan bunganya.
5. Jangan lupa beritahu suami atau
istri jika kita ingin mengajukan kredit.
6. Berikanlah informasi yang
jelas dan benar kepada petugas BPR yang
datang ke rumah, tempat usaha, ke lokasi jaminan kita.
7. Jelaskan rencana penggunaan kredit
ke depan. Sampaikan secara rinci kebutuhan yang diperlukan.
8. Tidak perlu
memberikan uang tips kepada petugas BPR dan jangan
menyogok, nanti akan berakibat kredit tidak disetujui.
9. Setiap permohonan kredit yang
disetujui akan dibuatkan akad kredit yang ditandatangani bersama oleh
pihak BPR dan pemohon.
10. Perjanjian kredit harus
ditandatangani bersama dengan suami atau istri.
11. Tanyakan dengan jelas hak dan
kewajiban saat akad kredit.
12. Dengan menandatangani
akad kredit berarti menyetujui persyaratan kredit yang
ditetapkan BPR.
13. Gunakan kredit sesuai dengan
tujuannya.
14. Pencairan kredit akan diberitahukan
oleh petugas BPR jika kreditnya disetujui, bisa berupa surat, atau secara
lisan.
15. Hitung dengan cermat,
apakah PAS sesuai dengan permohonan kredit yang telah
disetujui.
Pembayaran
1. Bayar tepat waktu, jangan
ditunda-tunda. Lebih awal lebih baik. Pembayaran dapat
dilakukan langsung ke BPR, melalui petugas dengan minta tanda terima atau
melalui bank lain.
2. Ingat menunda pembayaran berarti
akan terkena denda dan dinilai kurang baik oleh BPR.
Persyaratan
apa saja yang diperlukan jika kita ingin mengajukan kredit :
Persyaratan
yang umumnya diminta pada saat mengajukan kredit
:
1. Fotokopi KTP suami-istri.
2. Usia minimum 21 tahun, atau sudah
menikah dan maksimum 60 tahun pada saat kredit lunas.
3. Kartu keluarga dan surat nikah.
4. Fotokopi rekening listrik /
telepon.
5. Fotokopi jaminan.
Sumber : www.ojk.go.id
Saya mengawali karir di sebuah Bank Perkreditan Rakyat atau disingkat dengan BPR yang berlokasi diperbatasan Kabupaten Tangerang dengan Jakarta Selatan. Saya sendiri kurang memahami tentang seluk beluk BPR, karena selama kuliah saya hanya belajar tentang operasional Bank Umum. Kantor BPR pada saat itu tumbuh bak jamur, khususnya di wilayah tempat saya bekerja terdapat sekitar 30 BPR mungkin lebih, seluruhnya milik perseorangan. Hal itu terjadi sebagai dampak dikeluarkannya Diregulasi disektor perbankan atau kebijakan perbankan pada bulan Oktober 1988, yang dikenal dengan Paket Oktober 1988 (Pakto 1988).
Keberadaan BPR saat ini memiliki latar belakang yang tidak lepas dari sejarah tempo doeloe dengan di berlakukannya tanam paksa antara tahun 1830-1870 oleh kolonial Belanda. Tanam paksa menjadikan rakyat tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sementara itu rakyat diwajibkan harus membayar pajak dalam bentuk uang, namun kondisi ini semakin parah karena sikap hidup masyarakat yang boros dan berorientasi jangka pendek. Umumnya hasil panen digunakan untuk keperluan konsumtif. Termasuk para pegawai pemerintahan memiliki sikap hidup yang konsumtif.
Dalam memory ingatan saya, pada semester ke dua tahun 1997 adalah awal terjadinya krisis di Indonesia yang disebabkan oleh melemahnya nilai Rupiah terhadap Dollar, sebagai akibat menurunnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia yang memiliki kesamaan karakteristik masalah perekonomiannya dengan Thailand, negara yang menjadi sumber awal terjadinya krisis currency. Pada saat itu, langkah Pemerintah untuk menstabilkan ekonomi adalah dengan cara mencabut izin usaha 16 bank swasta nasional yang dinilai tidak sovabel. Hal ini menimbulkan kepanikan akan terjadinya penarikan dana besar-besaran oleh nasabah penyimpan, baik kepada bank-bank besar maupun yang kecil.
Paska krisis tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan kebijakan rekstrukturisasi Perbankan yang terbagi menjadi dua bagian yaitu, Program penyehatan perbankan dan Kebijakan pemantapan ketahanan sistem perbankan. Di tengah krisis ketidak percayaan masyarakat kepada bank, dan dikhawatirkan berdampak buruk kepada industri BPR yang sebagian besar nasabah penyimpannya adalah masyarakat kecil dan menengah, dan tidak dijamin Pemerintah. Pada tahun 1999 Pemerintah mengikutsertakan BPR dalam program Penjaminan Simpanan sama dengan Bank Umum sebagai pelaksanaan program penyehatan perbankan.
Penurunan jumlah BPR yang terjadi selama ini karena BPR yang bermasalah dilikuidasi atau dilakukan merger/konsolidasi, sebagai akibat diterapkannya Peraturan Bank Indonesia yang lebih mengutamakan pada peningkatan kualitas BPR dibandingkan kuantitasnya. Tentu saja kondisi ini tidak lepas dari visi dan Misi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan pada tahun 2004.
Perkembangan terakhir yang menarik, berdasarkan data statistik Bank Indonesia tersebut di atas, BPR semakin menggencarkan penambahan jumlah kantor kas dan cabang untuk memperluas jaringan distribusinya. Pada tahun 2005 jumlah kantor sebanyak 3.110, tetapi pada bulan Juni 2011 mengalami kenaikan sekitar 30%, jumlahnya menjadi 4.043 kantor. Kondisi ini menggambarkan bahwa BPR berupaya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada masyarakat, dan menjadi salah satu cara untuk menghadapi pesaing yang semakin ketat.
Pesaing BPR pertama adalah lembaga keuangan bank dalam hal ini bank umum yang berlandaskan pada data statistik, masih banyaknya sektor UMK (Usaha Mikro dan kecil) yang tidak tersentuh BPR, sehingga wajar saja untuk digarap bank Umum dengan cara membuka unit pelayanan UMK yang jumlahnya ratusan dan tersebar di mana-mana.
Pesaing BPR kedua adalah lembaga keuangan yang bebas berdiri dan beroperasi tanpa aturan yang jelas, dan jika harus ada aturannya maka tidak seketat industri BPR tetapi tetap aman melenggang menggarap sektor UMK dengan caranya sendiri yang penting proses mega cepat, tetapi tetap menguntungkan karena apapun cara penyelesaian kredit bermasalah tidak disorot tajam seperti halnya BPR.
Namun demikian kalau tidak tangguh namanya bukan BPR. Meskipun dihantam krisis sebanyak dua kali, dan persaingan BPR tetap mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun dalam hal penghimpunan dana maupun pelemparan kredit termasuk total assetnya, dan tentunya semakin banyak jumlah kantornya.
SDM Pengelola BPR dalam Businees Model BPR
Bank Indonesia dalam penyampaian materi seminar pada acara Musda X DPD Perbarindo DKI jaya dan sekitarnya yang berjudul BPR Bertahan : Sebuah keniscayaan dalam Persaingan, menyebutkan ada enam business model BPR yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan BPR yang harus menjadi perhatian yaitu berhubungan dengan pemilik, lokasi dan wilayah operasional, strategi bisnis, manajemen, kebijakan SDM dan hubungan dengan masyarakat setempat.
Dalam konteks SDM pengelola BPR, saya mengangkat Businees model BPR yang berhubungan dengan Manajemen BPR, yaitu :
SDM dalam konteks ini dimulai dari level pengurus sampai level yang paling bawah, merupakan salah satu faktor terpenting dalam menentukan berkembang atau tidaknya bisnis BPR. Dahulu saya tidak merasa bangga bekerja di BPR, karena saya melihat BPR adalah perusahaan kecil yang tidak dikenal dan tidak bisa memberikan jenjang karir yang diharapkan. Lima tahun bekerja, kondisi BPR bukan semakin maju tetapi bermasalah. Akhirnya saya harus risain dari BPR dan menjalani pekerjaan di bidang non BPR. Tetapi sekarang saya bangga bekerja di BPR, karena saya memiliki kesempatan mendapatkan pengalaman selama mengelola BPR disaat krisis, dan memiliki hubungan yang luas, sehingga saya bisa memberikan kontribusi bagi industri BPR bersama owner yang memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan BPR.
Dalam hal SDM, Bank Indonesia sebagai regulator dan pengawas industri BPR telah mendorong terciptanya industri BPR yang sehat, dengan menetapkan peraturan mengenai penyediaan biaya pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan peningkatan sumber daya manusia di BPR. Pelaksanaan pelatihan yang tepat guna akan dapat meningkatkan produktivitas kerja SDM BPR. Dalam hal Integritas dan Komitmen pengurus merupakan persayaratan mutlak agar industri BPR tetap eksis sehingga tidak tinggal kenangan.
Saya sendiri memiliki rumusan 10 K 2I yang merupakan cerminan sikap yang harus ada dalam diri seorang pengurus BPR yaitu :
Upaya memprofesionalismekan Direksi BPR selama ini adalah, melalui uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi profesi Direktur BPR (Certified Rural Bank of Director), yang boleh dijadikan titel yaitu CRBD dan ditempatkan di belakang titel kesarjanaan yang sudah ada, tetapi hanya berlaku selama lima tahun, dan seperti SIM maka harus diperpanjang agar bisa memiliki izin untuk terus dapat mengelola BPR. Pro kontra terhadap pelaksanaan sertifikasi Direksi dan perpanjangannya (survailen) selalu ada, namun regulasi harus dijalankan karena adanya tuntutan peningkatan kualitas kepemimpinan BPR yang tidak bisa ditawar yaitu harus memenuhi standarisasi kompetensi.
1. Relationship banking (closely tied to community)
Berdasarkan paparan tersebut di atas saya mengambil kesimpulan dan pendapat yang diharapkan dapat menghapus pikiran seperti judul tulisan ini, sebagai berikut :
1. Industri BPR ada baiknya kembali kepada fitrahnya sebagai lembaga keuangan mikro sehingga trade mark BPR sebagai Community Bank layak untuk menjadi simbol perjuangan bagi tumbuhnya industri BPR yang sehat dan kuat. Dengan demikian peranan BPR dalam membangun perekonomian masyarakat kecil dan sektor Usaha Mikro Kecil sejak jaman kolonialisme sampai sekarang tetap terlihat khas dan disegani banyak pihak.
Daftar Pustaka :
Asset Liability Management, H. Masyhud Ali ; Uang, Perbankan dan Ekonomi Moneter, Mandala Manurung ; BPR Bertahan : Sebuah keniscayaan dalam Persaingan, Materi Seminar Bank Indone
Setiap perusahaan yang memiliki struktur organisasi dinamis, menginginkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di dalamnya dapat tumbuh dan berkembang, seiring denga kemajuan perusahaan. Namun demikian masih banyak perusahaan yang kurang memahami hal tersebut, SDM hanya dianggap mesin yang tahunya bekerja untuk mendapatkan hasil, kemudian dibuang bila tidak perform namun tidak memperhatikan kualitas SDM itu sendiri. Manajemen perusahaan yang baik memahami bahwa, SDM dalam melakukan aktivitas sehari-hari didasarkan pada Motivasi atau dorongan dalam hidupnya untuk melakukan pekerjaan dengan hasil terbaik. Teori Motivasi Hirarki Maslow menyebutkan bahwa motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaan meliputi beberapa tahapan. Motivasi yang terendah adalah untuk mencari uang, dilanjutkan dengan mendapatkan kenyamanan, memiliki hubungan sosial yang baik, mendapatkan penghargaan, dan diberikan kesempatan untuk menunjukkan eksistensi dirinya.
SDM Menjadi Beban Perusahaan
Kebanyakan perusahaan di Indonesia adalah perusahaan padat karya, artinya banyak mempekerjakan manusia dalam melakukan aktivitas sehari hari. Dengan bergesernya waktu dan kemajuan teknologi, maka sumber daya manusia menjadi berkurang keberadaannya dari sisi kuantitas, di mana untuk pekerjaan berat dan penting dengan alasan kecepatan dan ketepatan, maka fungsi Manusia sebagai pelaksana di ganti dengan peralatan canggih. Contoh, dahulu disebuah perusahaan jasa keuangan untuk menempati posisi Akunting diperlukan 5 orang, satu untuk menjurnal, dua orang untuk memposting ke dalam kartu buku besar dan buku pembantu yang jumlahnya banyak, satu orang membuat neraca lajur dan satu orang menyusun laporan keuangan. Semua kertas kerja dan buku besar dibuat secara manual. Dalam era digital seperti sekarang, maka sumber daya manusia yang banyak dinilai menjadi beban (expenses) dan cenderung inefisiensi, karena pekerjaan yang melalui sebuah proses panjang, memakan waktu lama dan probabiliti terjadinya kesalahan cukup besar. Atas dasar ha itu maka SDM digantikan oleh satu perangkat yang disebut dengan komputer baik secara hard ware maupun soft ware, sehingga perusahaan bisa memangkas SDM Akunting menjadi tinggal 2 orang saja, bahkan untuk perusahaan skala kecil cukup 1 orang saja asalkan dia memiliki keterampilan menggunakan komputer, akuntansi keuangan dan sistem akuntansi, terlebih jika dia memiliki kemampuan khusus membuat aplikasi komputer maka perusahaan akan berjalan lebih efisien. Dengan semakin efisien maka perusahaan akan mampu bersaing dan menghasilkan profit yang optimal.
SDM Sebagai Asset
Permasalahan yang dihadapi perusahaan adalah, manakala satf yang memiliki keterbatasan kemudian tumbuh berkembang seiring dengan adanya coaching pimpinan, dan perusahaan menyertakan staff dalam pelatihan, pada akhirnya perusahaan harus rela melepaskan karyawan terbaiknya berpindah kerja ke tempat baru yang lebih menjanjikan. Kondisi ini harus selalu diwaspadai oleh perusahaan di mana untuk mengatasinya, perusahaan harus memiliki kepekaan perhatian kepada karyawan tertentu yang kerjanya baik atau secara rata-rata masih dalam grade baik. Kemudian pimpinan harus bisa mencari tahu apakah ada masalah dalam ekonomi, keluarga atau pekerjaan bahkan hubungan dengan teman satu tim. Dengan mengetahui masalah tersebut maka pimpinan dapat melakukan upaya terbaik agar karyawan tidak resain. Ingat, bahwa mengganti karyawan baru itu perlu waktu mengelolanya minimal enam bulan, dalam pengelolaan itu ada beban baik bagi pimpinan atau manajemen untuk membangun dengan cost dan waktu yang cukup besar. Jadi jangan sampai manajemen terlambat mengambil tindakan, di mana karyawan sudah melayangkan surat pengunduran diri, manajemen baru mulai memperhatikan kesejahteraan atau apapun yang diharapkan dapat menahan karyawan tersebut berhenti.
Dengan demikian manajemen perusahaan harus terus menciptakan SDM baru yang berkualitas dalam rangka pengkaderan, di samping meningkatkan produktivitas kerja. SDM yang berkualitas adalah SDM yang memiliki ketahanan mental dalam bekerja dan mengaplikasikan setiap masukan positip baik dari hasil pelatihan maupun coaching dari manajemen dalam aktivitas sehari-hari. Dalam konteks ini pimpinan harus memiliki kepekaan melalui komunikasi pribadi dan penilaian kinerja, sehingga sebelum karyawan terbaik melayangkan surat pengunduran diri, pimpinan dapat menjaganya dengan memberikan benefit terbaik bagi pengembangan karir karyawannya yang merupakan asset penting perusahaan.
TANTANGAN INDUSTRI BPR
Oleh : Wangsit Supeno, MM, CRBD
Saya mengawali karir di sebuah Bank Perkreditan Rakyat atau disingkat dengan BPR yang berlokasi diperbatasan Kabupaten Tangerang dengan Jakarta Selatan. Saya sendiri kurang memahami tentang seluk beluk BPR, karena selama kuliah saya hanya belajar tentang operasional Bank Umum. Kantor BPR pada saat itu tumbuh bak jamur, khususnya di wilayah tempat saya bekerja terdapat sekitar 30 BPR mungkin lebih, seluruhnya milik perseorangan. Hal itu terjadi sebagai dampak dikeluarkannya Diregulasi disektor perbankan atau kebijakan perbankan pada bulan Oktober 1988, yang dikenal dengan Paket Oktober 1988 (Pakto 1988).
BPR Tempo Doeloe
Keberadaan BPR saat ini memiliki latar belakang yang tidak lepas dari sejarah tempo doeloe dengan di berlakukannya tanam paksa antara tahun 1830-1870 oleh kolonial Belanda. Tanam paksa menjadikan rakyat tidak memiliki kemampuan untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sementara itu rakyat diwajibkan harus membayar pajak dalam bentuk uang, namun kondisi ini semakin parah karena sikap hidup masyarakat yang boros dan berorientasi jangka pendek. Umumnya hasil panen digunakan untuk keperluan konsumtif. Termasuk para pegawai pemerintahan memiliki sikap hidup yang konsumtif.
Di awali dengan sebuah peristiwa di mana seorang guru di Purwokerto,
ketika akan mengadakan khitanan anaknya membuat acara pesta yang meriah
dengan biaya yang lebih besar dari penghasilannya. Untuk keperluan
pesta tersebut, ia meminjam uang dari seorang rentenir dengan bunga yang
relatif tinggi. Seorang pejabat pemerintah golongan pribumi, R Bei Aria
Wirjaatmadja yang memegang kas sebuah masjid di Purwokerto, merasa
prihatin melihat tindakan sang guru. Pejabat tersebut kemudian
menawarkan kepada sang guru untuk menggunakan kas masjid guna melunasi
hutang kepada rentenir, dan untuk pengembaliannya dibebankan bunga yang
lebih ringan dari yang diminta rentenir. Rupanya beliau juga melakukan
tindakan serupa kepada pegawai lainnya. Pihak masjid yang mengetahui
tindakan R Bei Wirjaatmadja, mengeluarkan keputusan melarang penggunaan
kas masjid untuk keperluan yang tidak berhubungan dengan masjid.
Selanjutnya R Bei Wirjaatmadja diminta untuk mengembalikan uang kas
masjid yang sudah dipakai, akan tetapi beliau tidak memiliki kemampuan.
Keadaan ini mengundang rasa simpati para tokoh masyarakat dan seorang
pejabat Belanda yang mengetahui kejujuran beliau, yang pada akhirnya
memberikan bantuan untuk mengembalikan uang kas masjid tersebut.
Peristiwa ini menjadi cikal bakal lahirnya sebuah bank yang berorientasi
kepada rakyat kecil, dan diproritaskan untuk membantu para pegawai yang
membutuhkan dana agar tidak terjerat rentenir. Bank tersebut diberi
nama Bank Pegawai atau disebut juga Bank Priyayi.
Seiring dengan berkembangnya perekonomian rakyat, maka hadirnya lembaga
keuangan menjadi sebuah kebutuhan. Lembaga keuangan lainnya yang
berfungsi sebagai intermediasi keuangan kemudian bermunculan, di
antaranya adalah Bank Kredit Rakyat, Lumbung Desa, Bank Desa, Bank Pasar
dan lain-lain. Lumbung desa merupakan sebuah lembaga keuangan yang
bersifat memberi bantuan dalam bentuk natura berupa padi dan untuk makan
disaat paceklik.
Perkembangan Industri BPR
Dalam memory ingatan saya, pada semester ke dua tahun 1997 adalah awal terjadinya krisis di Indonesia yang disebabkan oleh melemahnya nilai Rupiah terhadap Dollar, sebagai akibat menurunnya kepercayaan investor asing terhadap perekonomian Indonesia yang memiliki kesamaan karakteristik masalah perekonomiannya dengan Thailand, negara yang menjadi sumber awal terjadinya krisis currency. Pada saat itu, langkah Pemerintah untuk menstabilkan ekonomi adalah dengan cara mencabut izin usaha 16 bank swasta nasional yang dinilai tidak sovabel. Hal ini menimbulkan kepanikan akan terjadinya penarikan dana besar-besaran oleh nasabah penyimpan, baik kepada bank-bank besar maupun yang kecil.
Pada
tahun 1998 adalah puncak terjadinya krisis di semua sektor perekonomian
termasuk sektor perbankan. Kinerja perbankan semakin memburuk.
Akibatnya kepercayaan masyarakat kepada perbankan menurun drastis. Saya
masih ingat pada saat itu harus mengantri panjang sampai ke pinggir
jalan untuk mengambil tabungan di sebuah bank swasta besar di Indonesia,
karena khawatir bank tersebut dilikuidasi mendadak.
Paska krisis tahun 1999, Pemerintah mengeluarkan kebijakan rekstrukturisasi Perbankan yang terbagi menjadi dua bagian yaitu, Program penyehatan perbankan dan Kebijakan pemantapan ketahanan sistem perbankan. Di tengah krisis ketidak percayaan masyarakat kepada bank, dan dikhawatirkan berdampak buruk kepada industri BPR yang sebagian besar nasabah penyimpannya adalah masyarakat kecil dan menengah, dan tidak dijamin Pemerintah. Pada tahun 1999 Pemerintah mengikutsertakan BPR dalam program Penjaminan Simpanan sama dengan Bank Umum sebagai pelaksanaan program penyehatan perbankan.
Berdasarkan
data statistik Bank Indonesia terbaru, jumlah BPR di Indonesia pada
akhir Juni 2011 adalah sebanyak 1.682 BPR, jumlahnya turun dibandingkan
dengan posisi tahun 2005.
Penurunan jumlah BPR yang terjadi selama ini karena BPR yang bermasalah dilikuidasi atau dilakukan merger/konsolidasi, sebagai akibat diterapkannya Peraturan Bank Indonesia yang lebih mengutamakan pada peningkatan kualitas BPR dibandingkan kuantitasnya. Tentu saja kondisi ini tidak lepas dari visi dan Misi Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diluncurkan pada tahun 2004.
Perkembangan terakhir yang menarik, berdasarkan data statistik Bank Indonesia tersebut di atas, BPR semakin menggencarkan penambahan jumlah kantor kas dan cabang untuk memperluas jaringan distribusinya. Pada tahun 2005 jumlah kantor sebanyak 3.110, tetapi pada bulan Juni 2011 mengalami kenaikan sekitar 30%, jumlahnya menjadi 4.043 kantor. Kondisi ini menggambarkan bahwa BPR berupaya untuk lebih mendekatkan dirinya kepada masyarakat, dan menjadi salah satu cara untuk menghadapi pesaing yang semakin ketat.
Pesaing BPR pertama adalah lembaga keuangan bank dalam hal ini bank umum yang berlandaskan pada data statistik, masih banyaknya sektor UMK (Usaha Mikro dan kecil) yang tidak tersentuh BPR, sehingga wajar saja untuk digarap bank Umum dengan cara membuka unit pelayanan UMK yang jumlahnya ratusan dan tersebar di mana-mana.
Pesaing BPR kedua adalah lembaga keuangan yang bebas berdiri dan beroperasi tanpa aturan yang jelas, dan jika harus ada aturannya maka tidak seketat industri BPR tetapi tetap aman melenggang menggarap sektor UMK dengan caranya sendiri yang penting proses mega cepat, tetapi tetap menguntungkan karena apapun cara penyelesaian kredit bermasalah tidak disorot tajam seperti halnya BPR.
Menurut
Bank Indonesia, pada saat ini bank-bank umum telah merubah strategi
pembiayaannya ke sektor Usaha Mikro dengan membuka unit-unit bank umum,
karena memiliki alasan bahwa sektor Usaha Mikro yang dibiayai BPR baru
sekitar 20%, sementara jumlah unit usaha mikro yang harus dibiayai
sebanyak 90%. Nah, berdasarkan statistik tersebut berarti ada ruang bagi
usaha mikro yang bisa diperebutkan untuk dibiayai oleh bank umum dan
BPR, sehingga dengan alasan itu maka tidak salah kalau satu bank umum
membuat puluhan bahkan ratusan unit mikro yang begitu gencar.
Namun demikian kalau tidak tangguh namanya bukan BPR. Meskipun dihantam krisis sebanyak dua kali, dan persaingan BPR tetap mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun dalam hal penghimpunan dana maupun pelemparan kredit termasuk total assetnya, dan tentunya semakin banyak jumlah kantornya.
SDM Pengelola BPR dalam Businees Model BPR
Bank Indonesia dalam penyampaian materi seminar pada acara Musda X DPD Perbarindo DKI jaya dan sekitarnya yang berjudul BPR Bertahan : Sebuah keniscayaan dalam Persaingan, menyebutkan ada enam business model BPR yang berkaitan dengan kebijakan pengembangan BPR yang harus menjadi perhatian yaitu berhubungan dengan pemilik, lokasi dan wilayah operasional, strategi bisnis, manajemen, kebijakan SDM dan hubungan dengan masyarakat setempat.
Dalam konteks SDM pengelola BPR, saya mengangkat Businees model BPR yang berhubungan dengan Manajemen BPR, yaitu :
BPR
harus dikelola oleh SDM yang memiliki integritas tinggi (dapat
dipercaya oleh pemegang saham dan masyarakat), profesional (kompeten
dalam operasional dan pemahaman ketentuan BPR, serta independen), dan memiliki pemahaman terhadap potensi usaha, serta karakteristik wilayah dan masyarakat (pasar) yang dilayani BPR
SDM dalam konteks ini dimulai dari level pengurus sampai level yang paling bawah, merupakan salah satu faktor terpenting dalam menentukan berkembang atau tidaknya bisnis BPR. Dahulu saya tidak merasa bangga bekerja di BPR, karena saya melihat BPR adalah perusahaan kecil yang tidak dikenal dan tidak bisa memberikan jenjang karir yang diharapkan. Lima tahun bekerja, kondisi BPR bukan semakin maju tetapi bermasalah. Akhirnya saya harus risain dari BPR dan menjalani pekerjaan di bidang non BPR. Tetapi sekarang saya bangga bekerja di BPR, karena saya memiliki kesempatan mendapatkan pengalaman selama mengelola BPR disaat krisis, dan memiliki hubungan yang luas, sehingga saya bisa memberikan kontribusi bagi industri BPR bersama owner yang memiliki komitmen tinggi dalam mengembangkan BPR.
Dalam hal SDM, Bank Indonesia sebagai regulator dan pengawas industri BPR telah mendorong terciptanya industri BPR yang sehat, dengan menetapkan peraturan mengenai penyediaan biaya pendidikan dan pelatihan yang terkait dengan peningkatan sumber daya manusia di BPR. Pelaksanaan pelatihan yang tepat guna akan dapat meningkatkan produktivitas kerja SDM BPR. Dalam hal Integritas dan Komitmen pengurus merupakan persayaratan mutlak agar industri BPR tetap eksis sehingga tidak tinggal kenangan.
Saya sendiri memiliki rumusan 10 K 2I yang merupakan cerminan sikap yang harus ada dalam diri seorang pengurus BPR yaitu :
Kehati-hatian,
Kepatuhan, Keuletan, Kejujuran, Komitmen, Keterampilan, Kesabaran,
Kepemimpinan, Kepribadian, Kreativitas, Integritas dan Independen
(10K2I).
Upaya memprofesionalismekan Direksi BPR selama ini adalah, melalui uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikasi profesi Direktur BPR (Certified Rural Bank of Director), yang boleh dijadikan titel yaitu CRBD dan ditempatkan di belakang titel kesarjanaan yang sudah ada, tetapi hanya berlaku selama lima tahun, dan seperti SIM maka harus diperpanjang agar bisa memiliki izin untuk terus dapat mengelola BPR. Pro kontra terhadap pelaksanaan sertifikasi Direksi dan perpanjangannya (survailen) selalu ada, namun regulasi harus dijalankan karena adanya tuntutan peningkatan kualitas kepemimpinan BPR yang tidak bisa ditawar yaitu harus memenuhi standarisasi kompetensi.
Tantangan BPR Sebagai Community Bank
Bank
Indonesia masih dalam materi seminar, berjudul BPR Bertahan : Sebuah
keniscayaan dalam Persaingan yang disajikan pada saat pelaksanaan Musda
ke X DPD Perbarindo DKI Jaya dan sekitarnya, menyatakan bahwa :
Reposisi BPR sebagai Community Bank
diharapkan BPR dapat menjadi bank yang dapat menyediakan pelayanan jasa
keuangan di wilayah tertentu dengan fokus pembiayaan pada UMK dan
masyarakat pedesaan, serta dimiliki oleh individu dan/atau badan hukum
yang memiliki visi pengembangan ekonomi lokal.
BPR sebagai Community Bank
dalam hal ini harus memiliki karateristik sendiri yang membedakan
dengan pesaing dengan memperhatikan pada hal-hal sebagai berikut :
1. Relationship banking (closely tied to community)
Keputusan
bisnis didasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang karakter dan
kebutuhan nasabah, serta kondisi bisnis masyarakat yang dilayani.
2. Personal Relationship
Sebagai strategi untuk menjaga terbinanya (sustainability) hubungan jangka panjang (long relationship)
3. Produk dan layanan didesain sesuai dengan kebutuhan nasabah dan masyarakat di lingkungan BPR berada dengan dukungan Apex bank.
Selanjutnya sebagai Community Bank industri BPR mempunyai tantangan yang tidak ringan untuk di atasi secara serius atas permasalahan yang berhubungan dengan :
- Fraud, Kredibilitas dan Tingkat Kepercayaan Masyarakat terhadap BPR.
- Keterbatasan Permodalan BPR dan Kemampuan Penyediaan Infrastruktur Pendukung.
- Persaingan yang ketat dengan bank umum dalam pembiayaan kepada UMK
- Keterbatasan kualitas dan kuantitas SDM sebagian besar BPR
- Tingginya suku bunga kredit
Kesimpulan dan Pendapat
Berdasarkan paparan tersebut di atas saya mengambil kesimpulan dan pendapat yang diharapkan dapat menghapus pikiran seperti judul tulisan ini, sebagai berikut :
1. Industri BPR ada baiknya kembali kepada fitrahnya sebagai lembaga keuangan mikro sehingga trade mark BPR sebagai Community Bank layak untuk menjadi simbol perjuangan bagi tumbuhnya industri BPR yang sehat dan kuat. Dengan demikian peranan BPR dalam membangun perekonomian masyarakat kecil dan sektor Usaha Mikro Kecil sejak jaman kolonialisme sampai sekarang tetap terlihat khas dan disegani banyak pihak.
2. BPR
tidak bisa mengharap banyak pada bantuan pihak manapun tetapi harus
berani memerdekakan diri dengan mengoptimalkan peran asosiasi Perbarindo
untuk mendorong terciptanya industri BPR yang sehat.
3. Pengurus
BPR tidak hanya memiliki kompetensi tetapi juga memiliki integritas,
komitmen serta moralitas yang tinggi agar BPR tumbuh dengan sehat tanpa
adanya niat untuk melakukan tindakan tercela (frauds) yang memanfaatkan kewenangan atau jabatan dalam setiap kesempatan dengan alasan apapun juga, .
4. BPR harus beroperasi secara efisien dengan memperhatikan lima hal berikut ini :
- Pertama, penggunaan sumber dana yang relatif murah dalam hal ini tentunya fungsi intermediasi kembali ditingkatkan. Selanjutnya dana yang dihimpun harus benar-benar dioptimalkan untuk ekspansi kredit yang produktif dengan memperhatikan efek risiko.
- Kedua, memiliki dan mengelola sumber daya manusia yang kompeten, dengan integritas dan komitmen serta loyalitas tinggi, berorientasi pada peningkatan produktivitas kerja dan memberikan hasil lebih kepada mereka yang berada diujung barisan terdepan, dan memberikan pelatihan baik soft skill maupun hard skill yang dapat meningkatkan motivasi kerja dan keterampilan kerja. Dengan SDM BPR yang produktif maka akan meningkatkan hasil kerja, sehingga dapat berpengaruh pada peningkatan profit dan pelayanan yang semakin baik, dalam bentuk suku bunga yang ringan ataupun fasilitas layanan yang lebih memuaskan.
- Ketiga, memperluas jaringan distribusi yang dinilai masih diperbolehkan oleh regulasi, dengan membangun kemitraan yang kuat bersama nasabah melalui “pelayanan hati”, yaitu pelayanan yang penuh kekeluargaan dengan memperhatikan keuntungan di kedua belah pihak sejak awal hingga akhir. Dengan harapan BPR tidak perlu gencar mencari nasabah baru yang memang sulit dicari dan boros biaya iklan. Pelayanan hati akan menjadikan nasabah bahagia, sehingga ia dengan senang hati akan terus menjadi nasabah yang loyal, dan tak segan mereferensikan orang lain menjadi nasabah baru di BPR kita. Hal ini dapat diukur dengan semakin meningkatnya prosentase nasabah yang sudah lunas atau masih berjalan tetapi sudah mendekati lunas, meminjam kembali dengan jumlah yang lebih rendah, sama atau lebih tinggi. Termasuk juga dengan bertambahnya nasabah baru yang berasal dari referensi nasabah yang sudah ada.
- Keempat, pengawasan intern yang tersistem mulai dari Dewan Komisaris sampai Internai Audit sehingga risiko tindakan tercela dapat dihindari sebab dampaknya akan menimbulkan kerugian bagi BPR.
5. BPR
harus memiliki struktur permodalan yang kokoh, seiring dengan upaya
untuk memperluas distribusi pelayanan, tentunya sebanding dengan
perkembangan volume usaha BPR itu sendiri. Artinya, disini diperlukan
keseriusan dan komitmen yang tinggi dari owner untuk bersama
pengurus menciptakan BPR yang memiliki citra baik di mata masyarakat
sehingga masih dapat tumbuh di tengah persaingan yang ketat.
______________________________________________________________________________
Asset Liability Management, H. Masyhud Ali ; Uang, Perbankan dan Ekonomi Moneter, Mandala Manurung ; BPR Bertahan : Sebuah keniscayaan dalam Persaingan, Materi Seminar Bank Indone
PENTINGNYA MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA
Oleh : Wangsit Supeno, MM, CRBD
Setiap perusahaan yang memiliki struktur organisasi dinamis, menginginkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada di dalamnya dapat tumbuh dan berkembang, seiring denga kemajuan perusahaan. Namun demikian masih banyak perusahaan yang kurang memahami hal tersebut, SDM hanya dianggap mesin yang tahunya bekerja untuk mendapatkan hasil, kemudian dibuang bila tidak perform namun tidak memperhatikan kualitas SDM itu sendiri. Manajemen perusahaan yang baik memahami bahwa, SDM dalam melakukan aktivitas sehari-hari didasarkan pada Motivasi atau dorongan dalam hidupnya untuk melakukan pekerjaan dengan hasil terbaik. Teori Motivasi Hirarki Maslow menyebutkan bahwa motivasi seseorang dalam melakukan pekerjaan meliputi beberapa tahapan. Motivasi yang terendah adalah untuk mencari uang, dilanjutkan dengan mendapatkan kenyamanan, memiliki hubungan sosial yang baik, mendapatkan penghargaan, dan diberikan kesempatan untuk menunjukkan eksistensi dirinya.
SDM Menjadi Beban Perusahaan
Kebanyakan perusahaan di Indonesia adalah perusahaan padat karya, artinya banyak mempekerjakan manusia dalam melakukan aktivitas sehari hari. Dengan bergesernya waktu dan kemajuan teknologi, maka sumber daya manusia menjadi berkurang keberadaannya dari sisi kuantitas, di mana untuk pekerjaan berat dan penting dengan alasan kecepatan dan ketepatan, maka fungsi Manusia sebagai pelaksana di ganti dengan peralatan canggih. Contoh, dahulu disebuah perusahaan jasa keuangan untuk menempati posisi Akunting diperlukan 5 orang, satu untuk menjurnal, dua orang untuk memposting ke dalam kartu buku besar dan buku pembantu yang jumlahnya banyak, satu orang membuat neraca lajur dan satu orang menyusun laporan keuangan. Semua kertas kerja dan buku besar dibuat secara manual. Dalam era digital seperti sekarang, maka sumber daya manusia yang banyak dinilai menjadi beban (expenses) dan cenderung inefisiensi, karena pekerjaan yang melalui sebuah proses panjang, memakan waktu lama dan probabiliti terjadinya kesalahan cukup besar. Atas dasar ha itu maka SDM digantikan oleh satu perangkat yang disebut dengan komputer baik secara hard ware maupun soft ware, sehingga perusahaan bisa memangkas SDM Akunting menjadi tinggal 2 orang saja, bahkan untuk perusahaan skala kecil cukup 1 orang saja asalkan dia memiliki keterampilan menggunakan komputer, akuntansi keuangan dan sistem akuntansi, terlebih jika dia memiliki kemampuan khusus membuat aplikasi komputer maka perusahaan akan berjalan lebih efisien. Dengan semakin efisien maka perusahaan akan mampu bersaing dan menghasilkan profit yang optimal.
SDM Sebagai Asset
Semakin tumbuhnya perusahaan, kebutuhan tenaga kerja yang
kompeten di bidangnya sedemikian penting. Dalam melakukan perekrutan
perusahaan tidak bisa lagi asal bisa ada orang yang mengisi suatu
lowongan. Perusahaan yang baik akan selalu menempatkan suatu posisi
hanya kepada orang yang tepat dan memiliki keahlian di bidangnya. Jadi
sekalipun perusahaan menggunakan perangkat komputer atau mesin yang
canggih namun tidak ada Sumber Daya Manusia yang mumpuni, maka tidak ada
jaminan hasil kerjanya cepat dan akurat. Apabila perusahaan salah dalam
menempatkan maka hasil kerjanya tidak optimal dan akibatnya menimbulkan
in efisiensi.
Salah satu cara yang dilakukan perusahaan besar dalam melakukan seleksi untuk mendapatkan SDM yang tepat, sebelum dilakukan wawancara adalah dengan memberikan test tertulis yang berisi pengetahuan tentang bidang usaha perusahaan, test kepribadian misalnya menggunakan DISC test dan wawancara yang dilakukan minimum oleh dua orang.
Penempatan SDM yang tepat akan membawa dampak positip bagi terciptanya kenyamanan bekerja, tentu saja hal ini harus menjadi perhatian manajemen perusahaan. Konflik tetap dibangun manajemen dalam artian konflik positif yang akan melahirkan ide-ide baru, bukan membiarkan terjadinya konflik pekerjaan terlebih konflik personal yang berdampak pada terganggunya tim kerja sehingga performance SDM dan perusahaan tidak baik dan pekerjaan menjadi terbengkalai.
Komunikasi manajemen secara inpersonal menjadi sedemikian penting untuk mencegah terjadinya kesalah pahaman yang berakibat terjadinya perbedaan persepsi yang dapat mengakibatkan pergesekan yang tidak sehat. Pimpinan tentunya harus bisa memahami bahwa setiap karyawan bersedia bekerja memang memperhatikan penghasilan namun karyawan memerlukan adanya satu keterbukaan komunikasi antara atasan dan bawahan tentang sistem kerja dan peraturan yang berlaku. Pimpinan perusahaan harus memiliki pemahaman tentang kepribadian bawahannya, dan cara memberikan penghargaan, sehingga kehadiran pimpinan dapat memberikan suasana yang kondusif dan selalu memberikan motivasi untuk bekerja dan menghasilkan yang terbaik, termasuk menerapkan tata etika dalam memimpin walau hanya berupa ucapan, "Maaf ya", "Tolong ya", "Terimakasih ya". Sentuhan tepukan kecil tiga kali dipundak karyawan yang berhasil melakukan sebuah tugas, adalah penyemangat bagi lahirnya inspirasi dan kemauan bertindak, yang pada akhirnya apa yang menjadi tujuan perusahaan melalui pimpinan yang memiliki "hati" dalam mempengaruhi bawahannya akan lebih mudah untuk dicapai dan bila terjadi kegagalan maka tim kerjanya tetap solid untuk setia dan tetap berkeinginan menjadi pemenang.
Dengan demikian perekrutan dan pembinaan SDM secara efektif akan membawa dampak pada peningkatan kualitas kerja yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya produktivitas dan hasil kerja. Dalam hal pembinaan, tentunya manajemen dapat melakukan pengamatan baik melalui penilaian maupun dengan mengajak karyawan berkomunikasi, di mana pada beberapa waktu tertentu disediakan waktu untuk meeting bersama dengan suasana yang enjoy, sehingga pimpinan dapat mengetahui lebih jauh permasalahan yang ada di struktur staf atau manajemen tingkat bawah.
Kualitas sumber daya manusia dapat dibangun melalui penyertaan karyawan dalam program pelatihan yang tidak hanya mengedepankan pada keahlian (hard skill) tetapi pembangunan mental (soft skill) agar memiliki sikap kerja yang baik (Attitude), komitmen kerja (Commitment), loyalitas dan mementingkan perusahaan (Integrity), semangat kerja yang tinggi (Passion), yang akan menumbuhkan kepercayaan diri dalam menjalankan tugas, hubungan yang baik antar teman dan atasan.
Program pelatihan yang bersifat soft skill menjadi sangat diperlukan baik dalam bentuk in house training mauoun regular training/seminar yang akan menambah wawasan SDM dalam mengelola pikirannya sehingga tetap memiliki integritas dan komitmen yang baik dalam memajukan perusahaan. Berdasarkan penelitian dari Mitsubishi Research pada tahun 2002 menyebutkan bahwa keberhasilan seseorang dalam meraih kesuksesan bekerja adalah 20% disebabkan karena memiliki ketrampilan kompetensi, 10% karena pemenuhan financial yaitu gaji yang memadai, 30% karena memiliki jaringan kerja (net working) dan 40% karena memiliki soft skill berupa ketahanan mental yang baik.
Keahlian teknis karyawan dapat diperoleh dengan menyertakannya dalam satu pelatihan yang sangat relevan dengan kebutuhan pekerjaan sehingga ilmu yang diperoleh akan dapat diimplementasikan di pekerjaan. Pelatihan ini harus diperoleh dari ahlinya yang memiliki pengalaman di bidang tersebut sehingga tidak hanya terkesan mengirim pelatihan tetapi tidak membawa dampak positip bagi lingkungannya.
Salah satu cara yang dilakukan perusahaan besar dalam melakukan seleksi untuk mendapatkan SDM yang tepat, sebelum dilakukan wawancara adalah dengan memberikan test tertulis yang berisi pengetahuan tentang bidang usaha perusahaan, test kepribadian misalnya menggunakan DISC test dan wawancara yang dilakukan minimum oleh dua orang.
Penempatan SDM yang tepat akan membawa dampak positip bagi terciptanya kenyamanan bekerja, tentu saja hal ini harus menjadi perhatian manajemen perusahaan. Konflik tetap dibangun manajemen dalam artian konflik positif yang akan melahirkan ide-ide baru, bukan membiarkan terjadinya konflik pekerjaan terlebih konflik personal yang berdampak pada terganggunya tim kerja sehingga performance SDM dan perusahaan tidak baik dan pekerjaan menjadi terbengkalai.
Komunikasi manajemen secara inpersonal menjadi sedemikian penting untuk mencegah terjadinya kesalah pahaman yang berakibat terjadinya perbedaan persepsi yang dapat mengakibatkan pergesekan yang tidak sehat. Pimpinan tentunya harus bisa memahami bahwa setiap karyawan bersedia bekerja memang memperhatikan penghasilan namun karyawan memerlukan adanya satu keterbukaan komunikasi antara atasan dan bawahan tentang sistem kerja dan peraturan yang berlaku. Pimpinan perusahaan harus memiliki pemahaman tentang kepribadian bawahannya, dan cara memberikan penghargaan, sehingga kehadiran pimpinan dapat memberikan suasana yang kondusif dan selalu memberikan motivasi untuk bekerja dan menghasilkan yang terbaik, termasuk menerapkan tata etika dalam memimpin walau hanya berupa ucapan, "Maaf ya", "Tolong ya", "Terimakasih ya". Sentuhan tepukan kecil tiga kali dipundak karyawan yang berhasil melakukan sebuah tugas, adalah penyemangat bagi lahirnya inspirasi dan kemauan bertindak, yang pada akhirnya apa yang menjadi tujuan perusahaan melalui pimpinan yang memiliki "hati" dalam mempengaruhi bawahannya akan lebih mudah untuk dicapai dan bila terjadi kegagalan maka tim kerjanya tetap solid untuk setia dan tetap berkeinginan menjadi pemenang.
Dengan demikian perekrutan dan pembinaan SDM secara efektif akan membawa dampak pada peningkatan kualitas kerja yang pada akhirnya akan berdampak pada meningkatnya produktivitas dan hasil kerja. Dalam hal pembinaan, tentunya manajemen dapat melakukan pengamatan baik melalui penilaian maupun dengan mengajak karyawan berkomunikasi, di mana pada beberapa waktu tertentu disediakan waktu untuk meeting bersama dengan suasana yang enjoy, sehingga pimpinan dapat mengetahui lebih jauh permasalahan yang ada di struktur staf atau manajemen tingkat bawah.
Kualitas sumber daya manusia dapat dibangun melalui penyertaan karyawan dalam program pelatihan yang tidak hanya mengedepankan pada keahlian (hard skill) tetapi pembangunan mental (soft skill) agar memiliki sikap kerja yang baik (Attitude), komitmen kerja (Commitment), loyalitas dan mementingkan perusahaan (Integrity), semangat kerja yang tinggi (Passion), yang akan menumbuhkan kepercayaan diri dalam menjalankan tugas, hubungan yang baik antar teman dan atasan.
Program pelatihan yang bersifat soft skill menjadi sangat diperlukan baik dalam bentuk in house training mauoun regular training/seminar yang akan menambah wawasan SDM dalam mengelola pikirannya sehingga tetap memiliki integritas dan komitmen yang baik dalam memajukan perusahaan. Berdasarkan penelitian dari Mitsubishi Research pada tahun 2002 menyebutkan bahwa keberhasilan seseorang dalam meraih kesuksesan bekerja adalah 20% disebabkan karena memiliki ketrampilan kompetensi, 10% karena pemenuhan financial yaitu gaji yang memadai, 30% karena memiliki jaringan kerja (net working) dan 40% karena memiliki soft skill berupa ketahanan mental yang baik.
Keahlian teknis karyawan dapat diperoleh dengan menyertakannya dalam satu pelatihan yang sangat relevan dengan kebutuhan pekerjaan sehingga ilmu yang diperoleh akan dapat diimplementasikan di pekerjaan. Pelatihan ini harus diperoleh dari ahlinya yang memiliki pengalaman di bidang tersebut sehingga tidak hanya terkesan mengirim pelatihan tetapi tidak membawa dampak positip bagi lingkungannya.
Permasalahan yang dihadapi perusahaan adalah, manakala satf yang memiliki keterbatasan kemudian tumbuh berkembang seiring dengan adanya coaching pimpinan, dan perusahaan menyertakan staff dalam pelatihan, pada akhirnya perusahaan harus rela melepaskan karyawan terbaiknya berpindah kerja ke tempat baru yang lebih menjanjikan. Kondisi ini harus selalu diwaspadai oleh perusahaan di mana untuk mengatasinya, perusahaan harus memiliki kepekaan perhatian kepada karyawan tertentu yang kerjanya baik atau secara rata-rata masih dalam grade baik. Kemudian pimpinan harus bisa mencari tahu apakah ada masalah dalam ekonomi, keluarga atau pekerjaan bahkan hubungan dengan teman satu tim. Dengan mengetahui masalah tersebut maka pimpinan dapat melakukan upaya terbaik agar karyawan tidak resain. Ingat, bahwa mengganti karyawan baru itu perlu waktu mengelolanya minimal enam bulan, dalam pengelolaan itu ada beban baik bagi pimpinan atau manajemen untuk membangun dengan cost dan waktu yang cukup besar. Jadi jangan sampai manajemen terlambat mengambil tindakan, di mana karyawan sudah melayangkan surat pengunduran diri, manajemen baru mulai memperhatikan kesejahteraan atau apapun yang diharapkan dapat menahan karyawan tersebut berhenti.
Dengan demikian manajemen perusahaan harus terus menciptakan SDM baru yang berkualitas dalam rangka pengkaderan, di samping meningkatkan produktivitas kerja. SDM yang berkualitas adalah SDM yang memiliki ketahanan mental dalam bekerja dan mengaplikasikan setiap masukan positip baik dari hasil pelatihan maupun coaching dari manajemen dalam aktivitas sehari-hari. Dalam konteks ini pimpinan harus memiliki kepekaan melalui komunikasi pribadi dan penilaian kinerja, sehingga sebelum karyawan terbaik melayangkan surat pengunduran diri, pimpinan dapat menjaganya dengan memberikan benefit terbaik bagi pengembangan karir karyawannya yang merupakan asset penting perusahaan.
PENTINGNYA TRAINING DALAM
MENINGKATKAN KUALITAS SDM BPR
MENINGKATKAN KUALITAS SDM BPR
Oleh : Wangsit
Supeno, MM, CRBD, CH, CHT, CNNLP
Bank
Perkreditan Rakyat yang semakin tumbuh pesat
di tanah air dalam operasionalnya tidak terlepas dari masalah keseharian
khususnya dalam meningkatkan penghimpunan dan pelepasan dana, menjaga
kualitas
pemberian kredit agar selalu sehat dan SDM yang selalu memiliki motivasi
untuk
meningkatkan kinerjanya di BPR. Manajemen tidak akan bisa mengembangkan
BPR terlebih dalam melakukan ekspansi BPR nya dengan membukan kantor Kas
dan Cabang jika tidak didukung dengan Sumber Daya Manusia yang kompeten
dan memiliki integritas.
Pimpinan BPR memiliki tanggung jawab terhadap
keberhasilan operasional perusahaan dari segala lini. Keberhasilan akan
diperoleh jika perusahaan memiliki 3 sistem penting berikut ini yang dapat berjalan dengan baik yaitu :
1. Sistem perekrutan dan pengembangan SDM
Sebuah perusahaan yang hebat harus didukung oleh
SDM yang juga hebat. Dalam hal ini BPR sebagai sebuah perusahaan jasa keuangan
yang dituntut melayani publik dengan prima, tentunya SDM menjadi bagian sangat
fundamental yang akan menentukan keberhasilan operasional BPR.
BPR yang tidak memiliki sistem perekrutan dan pengembangan SDM yang baik akan terancam dengan tingginya biaya tenaga kerja yang tidak produktif dan pastinya akan in efisiensi yang bisa membabat profit BPR dalam waktu sekejap.
2. Sistem Kontrol yang Akurat
Fakta sudah membuktikan, frauds atau penyimpangan dapat membuat BPR mengalami masalah dalam
operasionalnya. SDM lagi-lagi memiliki peran penting terjadinya penyimpangan
di BPR. Integritas begitu penting dalam bekerja di BPR yang ketat dengan
peraturan tetapi selalu saja ada celah dilanggar.
Sistem kontrol yang akurat dan dipatuhi secara konsisten baik oleh atasan maupun bawahan akan menjadikan BPR tumbuh pesat secara aman, sehat dan memberikan jaminan kepada para deposan dan kreditur untuk terus berinvestasi dan meminjamkan dananya disana karena semua SDM yang terlibat di dalam BPR adalah SDM yang penuh tanggung jawab, integritas tinggi, loyal dan memiliki rasa sence of belonging (rasa memiliki) sehingga memunculkan rasa bangga bekerja di BPR.
3. Sistem Marketing yang Handal
Tujuan operasional BPR sekurang-kurangnya ada lima
yaitu, membangun perekonomian lokal, meningkatkan laba dengan ROA yang terus
meningkat, memberikan pelayanan yang terbaik kepada masyarakat dan nasabah,
memberikan kesejahteraan kepada SDM yang memajukan organisasi, dan memberikan
ROE yang tinggi kepada owner.
Sistem Marketing yang baik dengan memperhatikan 4 P (Product, Price,
Promotion dan Place) + 1 P (Personal yang Kompeten)
menjadi sangat penting dalam menumbuhkan BPR yang sehat dalam jangka pendek
maupun jangka panjang. Dalam pelaksanaan dilapangan strategi marketing sehebat
apapun tidak akan berjalan baik tanpa dukungan SDM yang handal.
Mengapa Pimpinan BPR Harus MelakukanTraining Needs Analysis (TNA) dalam Penyusunan Rencana Kerja Tahunan Direksi ?
Beberapa alasan yang mendasari perlunya pimpinan BPR melakukan TNA yaitu :
1. Untuk memastikan apakah sebuah permasalahan yang terkait dengan kinerja
karyawan atau kinerja BPR dapat diatasi dengan diadakannya training seiring
dengan upaya pencapaian target kerja
Direksi satu tahun ke depan.
2. Jika training menjadi solusi atas sebuah permasalahan kinerja karyawan
maka harus diberikan sesuai dengan kebutuhan. Dengan adanya TNA maka tidak akan
terjadi kesalahan dalam menetapkan tujuan, materi dan metode training, maupun
dalam menentukan peserta training.
3. Setiap training yang dilaksanakan oleh suatu BPR atau yang diikuti oleh
SDM BPR terkait dengan tugasnya seharusnya akan mendukung strategi perusahaan
dalam mencapai tujuannya.
4. Dengan TNA yang tepat dan sesuai kebutuhan maka anggaran pelatihan yng
dimiliki BPR akan bermanfaat dan tidak terkesan dihabur-hamburkan.
Ruang Lingkup Training Needs Analysis (TNA)
Training Needs Analysis yang disusun oleh pimpinan BPR dalam satu tahun terdiri atas tiga elemen, yaitu :
1. Analisis pada level organisasi
Hal yang diungkapkan pada level organisasi yaitu :
a. Jika pimpinan BPR menempatkan karyawan sebagai bagian dari strategi
untuk mencapai tujuan penyaluran dana secara berkualitas dan menguntungkan,
maka pengadaan training di bidang perkreditan yang meliputi pemasaran,
manajemen kredit, manajemen collection dan manajemen customer paska pemberian
kredit adalah salah satu cara terbaik yang dapat dilaksanakan BPR untuk
meningkatkan keterampilan teknis petugas kredit dalam meningkatkan penjualan
produk dan memproses kredit serta melakukan penagihan secara benar yang akan
memberikan efek positif bagi pencapaian realisasi target rencana kerja Direksi.
b. Adanya support dari manajemen kepada karyawan yang akan disertakan dalam
training dan menerapkan hasil pelatihan dalam pekerjaan sehari-hari.
c. Kesiapan BPR untuk menyelenggarakan suatu training, termasuk kesiapan
penyediaan anggaran, peserta, provider training yang pelaksanaannya tanpa
mengganggu kinerja perusahaan.
2. Analisis pada level tugas
Analisis pada level tugas yang disusun oleh pimpinan BPR bertujuan :
a. Mengidentfikasi divisi mana sajakah yang dinilai belum sejalan dengan
strategi organisasi dalam mencapai target kerja pada tahun sebelumnya dan pada
tahun ini harus dikembangkan melalu training yang sesuai kebutuhan devisi
tersebut.
b. Menentukan elemen dari tugas-tugas tertentu yang diperkirakan perlu
diberikan training. Elemen tersebut seperti knowledge dan skill tentang teknis
marketing produk BPR, proses pemberian kredit BPR, pelayanan nasabah BPR, dan
Motivasi yang dapat meningkatkan soft skill yang berdampak pada terbangunnya
inner motivation untuk bekerja habis-habisan, memiliki attitude atau sikap yang
baik, memiliki
integritas dan komitmen agar kinerjanya memuaskan dan memberikan kontribusi positif terhadap BPR.
Kinerja karyawan ditentukan oleh 3 faktor yaitu :
a. Ability,
Berhubungan dengan potensi karyawan, kemampuan dan keterampilan yang
dimiliki seorang karyawan dalam menyelesaikan tugasnya dengan baik.
b. Motivation,
Berhubungan dengan kemauan yang dimiliki seorang karyawan sehingga
mendorong dirinya untuk dapat menyelesaikan tugas yang diembannya dengan
sebaik-baiknya sesuai yang diharapkan perusahaan.
c. Opportunity,
Adanya kesempatan yang diberikan kepada karyawan untuk menyelesaikan
tugasnya sesuai job description yang jelas, sarana yang tersedia untuk
kelancaran kerja dan lingkungan kerja yang nyaman.
3. Analisis pada level individu karyawan
Analisis pada level individu karyawan dilakukan
untuk menentukan siapa saja karyawan yang membutuhkan training, hal terkait
kedudukannya pada level organisasi dan level tugas. Untuk memperkuat analisis
bisa dilakukan dengan cara membuat kuesioner, di mana dalam kuesioner tersebut
diungkapkan apa saja sebab sebab yang menjadikan hambatan sehingga kinerja
tidak maksimal.
Mengapa Training sangat diperlukan BPR ?
Fokus dari training adalah adanya kebutuhan untuk pengembangan
sikap, mental, perilaku, pengetahuan dan keterampilan yang relevan dengan tugas
dan wewenang karyawan yang diberikan perusahaan sehingga akan membantu dalam
melancarkan a`ktivitas sehari-hari dan memberikan hasil yang memuaskan. Pemilihan
model training lebih dilihat pada rendahnya biaya pelatihan bukannya pada
kualitas training itu sendiri. Akibatnya, dana pelatihan keluar sedikit tetapi
hasilnya tidak memberikan dampak apapun terhadap perusahaan, lalu disimpulkan
bahwa training hanya mengamburkan waktu dan uang.
Nara sumber pemberi training menjadi sangat penting jika kebutuhan akan
pengembangan karyawan sesuai dengan strategi perusahaan dalam rangka mendukung
pencapaian rencana kerja Direksi. Nara sumber haruslah orang yang profesional
dibidangnya dan memiliki pengalaman langsung dibidang usaha BPR, termasuk
dibidang training sehingga transfer ilmu akan lebih mudah dan sangat aplikatif
di BPR.
Kompetensi yang dibutuhkan perusahaan termasuk BPR tidaklah hanya yang berifat Hard Competencies yang berhubungan dengan keterampilan teknis pekerjaan, akan tetapi juga yang bersifat Soft Competencies (Kompetensi yang berkaitan dengan prilaku dan motivasi kerja karyawan) ini perlu mendapatkan perhatian. Hasil penelitian membuktikan hampir 80% kesuksesan seseorang didasarkan pada Internal Motivation atau Soft Competencies yang berhasil dibangun dalam dirinya sendiri, dan hanya 20% saja kompensi teknis yang dikuasai. Sehebat apapun keterampilan Account Officer dalam marketing dan pelayanan, jika tidak ada motivasi yang kuat dalam dirinya untuk melampaui target kerja, maka keahlian itu tidak akan pernah bernilai apa-apa.
Dengan demikian, pelatihan merupakan suatu tuntutan kebutuhan yang tidak bisa ditunda tetapi harus disusun secara teratur dan direncanakan secara matang melalui Training Needs Analysis (TNA) yang tepat. Hal inilah yang menjadikan pelatihan atau training diyakini sebagai kebutuhan penting untuk mampu mengatasi persoalan dalam kelancaran aktivitas pekerjaan sehari-hari sebagai strategi dalam rangka mencapai rencana kerja yang telah ditetapkan oleh Direksi. Salam Sukses Luar Biasa.
MEMAHAMI
ASPEK HUKUM JAMINAN KREDIT
Disusun oleh : Wangsit Supeno, SE, MM, CRBD
Dalam memberikan pelatihan perkreditan, saya mengamati masih cukup banyak Account Officer BPR yang belum memahami tentang Aspek Hukum Kredit, khususnya dalam hal ini terkait dengan jaminan kredit. Untuk itulah saya ingin berbagi pengetahuan tentang Aspek Hukum Jaminan Kredit yang saya pelajari dari pakar-pakar hukum terkait, seperti Indrawati Soewarso, SH, Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeni, SH, Badriyah Harun, SH.
Semoga bermanfaat dan bisa menjadi tambahan pengetahuan bagi AO sebab suka atau tidak suka aktivitas mereka berhubungan dengan masalah hukum. Jika mereka tidak memahami ini kelak akan mengalami kendala dalam menjalankan tugasnya ketika debitur bermasalah, tentu kredit bisa macet dan merugikan bank.
Berkaitan dengan aspek hukum jaminan kredit maka berikut ada beberapa hal penting yang harus diperhatikan Bank sebelum melakukan pengikatan kredit :
Harta Kekayaan Merupakan Jaminan
Pada dasarnya harta kekayaan seseorang merupakan jaminan dari utang-utangnya. Hal ini didasarkan pada Pasal 1131 KUH Perdata yang bunyinya, “Segala kebendaan siberutang, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perorangan”.
Kebendaan Bergerak dan Kebendaan Tidak Bergerak
Disebut kebendaan bergerak karena sifatnya yang dapat berpindah atau dipindahkan, pada umumnya di BPR berupa Kendaraan Sepeda Motor dan Mobil.
Kebendaan tidak bergerak yaitu karena :
1. Sifatnya demikian, seperti tanah dan gedung yang dibangun di atasnya, atau dilihat dari
2. Tujuan pemakaiannya, seperti mesin-mesin
pabrik yang terpaku erat mengikuti bangunan dan tanah.
Segi Hukum Jaminan
Pemberian kredit oleh bank mengandung risiko sehingga diarahkan oleh Undang-undang agar pelaksanaannya dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat (prudential banking principle). Karena kredit yang diberikan bank mengandung risiko, maka perlu diperoleh jaminan dalam pengertian “Keyakinan”, akan kemampuan debitur melunasi kredit sesuai dengan persyaratan yang telah diperjanjikan.
Keyakinan bank diperoleh dari hasil penilaian yang dilakukan terhadap 5 C yaitu Character, Capacity, Capital, Condition dan Collateral. Agunan atau Collateral merupakan salah satu faktor yang dinilai, sehingga apabila berdasarkan penilaian terhadap faktor lainnya, bank telah memperoleh keyakinan akan kemampuan debitur untuk memenuhi kewajibannya.
Di lihat dari segi hukum jaminan, sebagaimana tercantum dalam KUH Perdata, pengertian jaminan yang dipergunakan dalam ketentuan dan praktik perbankan lebih menitik beratkan pada aspek sosial ekonomi. Dalam pada itu istilah agunan sebagaimana dirumuskan dalam Undang-undang No. 10 Tahun 1998 pasal 1 angka 23 adalah Jaminan Tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit.
Dengan demikian, hal ini menegaskan seperti apa yang dikatakan Johanes Ibrahim (2004 : 71), bahwa jaminan hndaklah mempertimbangkan dua faktor, yaitu :
- Secured
Artinya jaminan kredit mengikat secara yuridis formal sehingga
apabila suatu hari nanti debitur melakukan wanprestasi (cedera janji), maka
bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi ;
- Marketable
Artinya
bila jaminan tersebut hendak dieksekusi, dapat segera dijual atau diuangkan
untuk melunasi seluruh kewajiban debitur.
Ketentuan
dalam Pasal 1311 KUH Perdata juga menerangkan fungsi jaminan yang selalu
ditujukan pada upaya pemenuhan kewajiban debitur yang dinilai dengan uang,
yaitu dipenuhi dengan melakukan pembayaran. Oleh karena itu, jaminan memberikan
hak kepada kreditur mengambil pelunasan dari hasil penjualan kekayaan yang
dijaminkan.
Penting :
Dalam
perjanjian kredit lazimnya para pihak telah memperjanjikan dengan tegas bahwa
apabila debitur tidak dapat membayar kredit yang terutang, kreditur berhak
mengambil sebagian atau seluruh hasil penjualan harta jaminan tersebut sebagai
pelunasan utang debitur (verhaalstrecht).
Jika ada beberapa kreditur, pembagian di antara para kreditur terdapat
pengikatan jaminan yang dilakukan secara khusus. Apabila di antara
kreditur ada kreditur yang memberikan
kredit dengan jaminan Hak Tanggungan, kreditur tersebut adalah kreditur
separatis yang akan menerima pelunasan hak tagihnya secara penuh didahulukan
dari para kreditur lainnya yang tidak mendapat jaminan khusus atau kreditur
konkuren. Para kreditur ini menerima secara berbanding dari hasil penjualan
harta debitru setelah dikurangi bagian yang menjadi hak kreditur separatis.
INTISARI
PBI 13/26/PBI/2011
Kewajiban penyusunan dan penyampai
kebijakan perkreditan didasarkan atas terbitnya Peraturan Bank Indonesia Nomor 13 /26/PBI/2011 tentang Perubahan Atas
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif
dan Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan
Rakyat.
Latar belakang terbitnya PBI tersebut di atas adalah :
1.
Bahwa
sesuai dengan tujuannya, BPR memiliki peranan yang penting dalam mendukung
perkembangan usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Di samping itu, sebagai
lembaga kepercayaan yang mengelola dana masyarakat, BPR harus senantiasa
memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk itu diperlukan suatu
peraturan yang dapat mendorong BPR untuk menyalurkan kredit kepada UMKM dengan
tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian.
2. Bahwa ketentuan tentang Kualitas Aktiva Produktif dan Penyisihan penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat (KAP dan PPAP BPR) belum sepenuhnya selaras dengan Standar Akuntansi Keuangan untuk Entitas Tanpa Akuntabilitas Publik (SAK-Etap) dan Pedoman Akuntansi BPR (PA BPR).
Pokok-pokok
Penting terkait dengan Perubahan ketentuan tentang Kualitias Aktiva Produktif
dan Penyisihan penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan Rakyat (KAP dan
PPAP BPR) meliputi :
1. Kewajiban
setiap BPR untuk memiliki pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan secara
tertulis.
Dalam ketentuan lama kewajiban ini tidak diatur, sedangkan dalam ketentuan baru diatur sbb. :
a. Dalam
rangka penyediaan dana dalam bentuk kreit, BPR wajib memiliki pedoman kebijakan
dan prosedur perkreditan secara tertulis.
b.
Kebijakan
perkreditan wajib disetujui oleh Dewan Komisaris.
c.
Prosedur
Perkreditan wajib disetujui oleh paling kurang Direksi.
d.
Dewan
Komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap pelaksanaan kebijakan
perkreditan.
e. Ketentuan
lebih lanjut mengenai pedoman kebijakan dan prosedur perkreditan BPR diatur
dalam Surat Edaran Bank Indonesia.
f.
Prosedur
kebijakan dan prosedur perkreditan mencakup juga kebijakan dan prosedur
mengenai Restrukturisasai kredit, AYDA, Hapus Buku dan Hapus Tagih Kredit.
2. Pelaporan pedoman Kebijakan Perkreditan
Ketentuan
baru mengatur mengenai pelaporan pedoman kebijakan perkreditan sebagai berikut
:
a.
BPR wajib menyampaikan pedoman
kebijakan perkreditan BPR kepada Bank Indonesia paling lambat 1 (satu) tahun
sejak berlakunya Peraturan Bank Indonesia ini.
b
Setiap
perubahan pedoman kebijakan perkreditan BPR wajib disampaikan kepada Bank
Indonesia paling lambat 1 (satu) bulan sejak terjadinya perubahan.
3. Penilaian Kualitas Aktiva Untuk Nasabah yang sama dalam 1 (satu) BPR
Ketentuan
baru mengatur mengenai penilaian kualitas aktiva produktif sebagai berikut :
a. BPR
wajib menetapkan Kualitas Aktiva Produktif yang sama terhadap beberapa rekening
Aktiva Produktif yang digunakan untuk membiayai 1 (satu) Debitur pada BPR yang
sama.
b.
Dalam
hal terdapat perbedaan Kualitas Aktiva Produktif terhadap beberpa rekening
Aktiva produktif untuk 1 (satu) Debitur pada BPR yang sama, BPR wajib
menetapkan kualitas masing-masing Aktiva Produktif mengikuti Kualitas Aktiva
Produktif yang paling rendah.
Contoh
:
Seorang
debitur Y memiliki 2 (dua) fasilitas di BPR X yaitu Kredit Modal Kerja untuk
restoran dan toko kelontong. Kondisi
kollektibilitas terakhir adalah sebagai berikut :
-
Kredit
Modal Kerja Usaha Restoran Kolektibiltas
Lancar
-
Kredit
Modal Kerja Toko Kelontong Kolektibilitas Kurang Lancar
Karena
kredit tersebut diberikan kepada 1 (satu) debitur, maka Kualitas Aktiva
Produktif
4. PPAP Umum dan PPAP Khusus
Ketentuan
lama yang mengatur mengenai PPAP Umum dan PPAP Khusus, masih berlaku dengan adanya peraturan baru sebagai
berikut :
a.
BPR
wajib wajib membentuk PPAP Umum dan PPAP Khusus.
b.
PPAP
Umum ditetapkan paling kurang 0,5% (lima
per mil) dari Aktiva Produktif yang memiliki Kualitas Lancar.
c.
PPAP
Khusus ditetapkan paling kurang sebagai berikut :
1) 10%
dari Aktiva Produktif dengan Kualitas Kurang Lancar setelah dikurangi
nilai agunan
2) 50%
dari Aktiva Produktif dengan Kualitas Diragukan setelah dikurangi nilai agunan
3) 100%
dari Aktiva Produktif dengan Kualitas Macet setelah dikurangi nilai agunan
5. Nilai Agunan Yang Diperhitungkan Sebagai Pengurang Dalam Pembentukan PPAP
Ketentuan baru yang mengatur Nilai Agunan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP sebagai berikut :
a.
100% dari agunan yang bersifat likuid berupa surat utang yang diterbitkan
oleh Pemerintah RI, Tabungan dan atau
Deposito yang diblokir pada BPR yang bersangkutan disertai dengan surat kuasa
pencairan dan logam mulia .
b.
80%
dari Nilai Hak
Tanggungan untuk agunan berupa
tanah, bangunan dan/atau rumah yang memiliki sertifikat yang diikat dengan hak
tanggungan.
Penjelasan :
Yang
dimaksud dengan tanah, bangunan dan/atau rumah yang dilekati dengan hak atas
tanah berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai.
c.
60%
dari NJOP untuk agunan berupa tanah, bangunan dan/atau
rumah yang memiliki sertifikat yang tidak diikat dengan hak tanggungan.
d.
50% dari NJOP untuk agunan berupa tanah dan/atau
bangunan dengan bukti kepemilikan berupa Surat Girik (letter C) atau yang
dipersamakan dengan itu termasuk Akte Jual Beli (AJB) yang dibuat oleh Notaris
atau Pejabat yang berwenang yang dilampiri SPPT
pada satu tahun terakhir.
e.
50% dari Nilai Pasar untuk agunan kendaraan bermotor,
kapal atau perahu bermotor yang disertai dengan Bukti Kepemilikan dan diikat
sesuai ketentuan yang berlaku.
Penjelasan
:
1)
Yang
dimaksud dengan nilai pasar adalah Jaminan uang yang diperkirakan dapat
diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu aset pada tanggal
penilaian setelah dikurangi biaya-biaya transaksi.
2)
Yang
dimaksud dengan ketentuan yang berlaku misalnya ketentua mengenai Fiducia dan
gadai
f.
85% dari Nilai Pasar untuk agunan emas perhiasan
Penjelasan
:
Nilai pasar emas perhiasan mengacu
pada harga yang berlaku umum di pasar emas setempat. Penetapan nilai pasar emas
perhiasan dapat dilakukan oleh internal bank atau penilai independen , misalnya
toko emas atau lembaga gadai emas.
g.
50% dari Harga Pasar, Harga Sewa atau
Harga Pengalihan, untuk agunan berupa tempat
usaha/los/kios/lapak/hak pakai/hak garap dan tempat usaha yang disertai bukti
kepemilikan atau surat ijin pemakaian tempat usaha/los/kios/lapak/hak pakai/hak
garap yang dikeluarkan oleh pengelola yang sah dan disertai dengan surat kuasa
menjual atau pengalihan hak yang dibuat/disahkan oleh notaris atau dibuat oleh
pejabat lainnya yang berwenang,
h.
30% dari Nilai Pasar untuk agunan berupa kendaraan
bermotor, kapal atau perahu bermotor yang disertai bukti kepemilikan dan
disertai dengan surat kuasa menjual yang dibuat/disahkan oleh Notaris.
i.
30% dari nilai Agunan, untuk Resi Gudang yang penilaiannya
dilakukan lebih dari 18 bulan namun belum melampaui 30 bulan sesuai dengan
Undang-Undang dan Prosedur.
6. Jangka
Waktu Pengakuan Agunan Untuk Kredit Dengan Kolektibilitas Macet
Ketentuan
baru yang mengatur jangka waktu pengakuan Agunan untuk Kredit dengan
Kolektibilitas Macet diatur sebagai berikut :
a.
Setelah
jangka waktu 2 (dua) tahun sampai dengan
3 (tiga) tahun ditetapkan paling tinggi sebesar 50% dari nilai agunan yang
diperkenankan untuk diperhitungkan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP.
Contoh :
Ibu
Sarah memiliki fasilitas kredit di BPR X dengan agunan berupa tanah yang diikat dengan
hak tanggungan senilai Rp. 375.000.000,- .
Pada
tanggal 2 Januari 2012 kredit tersebut ditetapkan Macet oleh BPR X, sehingga
agunan tersebut digunakan sebagai faktor pengurang PPAP sebesar 80% dari nilai
agunan yakni sebesar Rp. 375.000.000 x
80% = Rp. 300.000.000,-.
b.
Apabila
setelah 2 (dua) tahun yakni pada tanggal 2 Januari 2014 debitur belum
menyelesaikan tunggakan kreditnya atau belum ada upaya penyelesaan oleh BPR
baik dalam bentuk rekstrukturisasi kredit atau pengambil alihan agunan. Maka
nila agunan yang
digunakan sebagai faktor pengurang PPAP adalah sebesar 50% dari Rp. 300.000.000,- atau
sebesar Rp. 150.000.000,- .
c.
Setelah
jangka waktu 3 (Tiga) tahun, tidak dapat diperhitungkan sebagai faktor
pengurang dalam pembentukan PPAP.
Ketentuan peralihan :
Pentahapan pengakuan
nilai agunan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3) terhadap Kredit BPR
yang telah memiliki kualitas Macet sebelum Peraturan Bank Indonesia ini
berlaku, dihitung sejak Peraturan Bank Indonesia ini
berlaku.
7. Penilaian Agunan
Ketentuan
lama dan ketentuan baru yang mengatur mengenai penilaian agunan sebagai berikut
:
a. BPR wajib melakukan penilaian atas
agunan untuk mengetahui nilai ekonomisnya.
b. Dalam hal BPR tidak melakukan
penilaian agunan maka agunan tersebut tidak diperhitungkan sebagai faktor
pengurang PPAP.
c. BPR
dilarang memperhitungkan agunan sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP
apabila agunan tersebut tidak ada, tidak dapat diketahui keberadaannya dan/atau
tidak dapat dieksekusi.
d. Bank Indonesia berwenang melakukan
perhitungan kembali atau tidak mengakui nilai agunan yang telah diperhitungkan
sebagai pengurang dalam pembentukan PPAP apabila BPR tidak memenuhi ketentuan.
e. BPR wajib melakukan penyesuaian
perhitungan PPAP sesuai dengan perhitungan yang ditetapkan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayai (1) dalam
laporan-laporan yang disampaikan kepada Bank Indonesia dan/atau laporan
publikasi sesuai ketentuan Bank Indonesia yang berlaku, paling lambat 14 (empat
belas) hari sejak tanggal pemberitahuan
dari Bank Indonesia.
Penjelasan :
Termasuk
dalam pengertian pemberitahuan adalah pemberitahuan yang dilakukan oleh Bank
Indonesia kepada BPR dalam pertemua pembahasan hasil pemeriksaan (exit meeting) .
8. Rekstrukturisasi Kredit
Ketentuan
lama yang disempurnakan dengan ketentuan baru mengenai penilaian agunan sebagai
berikut :
a. Kualitas Kredit yang
direkstrukturisasi ditetapkan sebagai berikut :
1) Paling tinggi Kurang Lancar untuk
kredit yang sebelum direkstrukturisasi kualitasnya tergolong Diragukan atau
Macet atau ,
2) Tidak berubah , untuk kredit yang
sebelum direkstrukturisasi kualitasnya tergolong Lancar atau Kurang Lancar,
b. Kualitas Kredit dapat menjadi :
1) Lancar, apabila tidak terjadi
tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga selama
3 (tiga) kali periode pembayaran secara berturut-turut, atau
2) Sama dengan Kualitas Kredit sebelum
dilakukan Rekstrukturisasi Kredit, apabila
Debitur tidak dapat memenuhi kondisi sebagaimana dimaksud pada angka 1)
c. Bank wajib membebankan kerugian yang
timbul dari Rekstrukturisasi Kredit, setelah diperhitungkan dengan kelebihan
PPAP karena perbaikan Kualitas Kredit setelah dilakukan rekstrukturisasi.
d. Kelebihan PPAP karena perbaikan
kualitas kredit yang direkstrukturisasi, setelah diperhitungkan dengan kerugian
yang timbul dari restrukturisasi kredit sebagaimana dimaksud pada ayat (3),
hanya dapat diakui sebagai pendapatan apabila telah terdapat 3 (tiga) kali
penerimaan angsuran pokok atas kredit yang direstrukturisasi.
e. BPR wajib menerapkan perlakuan
akuntansi restrukturisasi kredit, termasuk namun tidak terbatas pada pengakuan
kerugian yang timbul dalam rangka
rekstrukturisasi kredit, sesuai dengan Standar Akuntansi Keuangan dan Pedoman
Akuntansi yang berlaku bagi BPR.
9. Agunan Yang Diambil Alih (AYDA)
Ketentuan
lama yang disempurnakan dengan ketentuan baru mengenai Agunan Yang Diambil Alih
(AYDA) sebagai berikut :
a. Ketentuan lama yang masih berlaku
dalam hal AYDA adalah BPR dapat mengambil alih agunan, yang bersifat sementara
dalam rangka penyelesaian kredit yang memiliki kualitas macet.
b. Ketentuan
baru mengenai pengambil alihan agunan harus disertai dengan surat pernyataan
penyerahan agunan atau surat kuasa menjual dari Debitur, dan surat
keterangan lunas dari BPR kepada Debitur.
c. BPR wajib melakukan upaya
penyelesaian terhadap Agunan Yang Diambil Alih (AYDA) dalam waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak pengambilalihan.
Sedang ketentuan lama diperbolehkan 2
(dua) tahun.
Penjelasan :
Upaya
penyelesaian antara lain dapat dilakukan dengan secara aktif memasarkan dan
menjual AYDA.
Contoh :
Pada
tanggal 10 Januari 2012 BPR ESD telah mengambil alih agunan yang diserahkan
oleh debitur maka batas waktu penyelesaian AYDA tersebut adalah 9 Januari 2013.
Ketentuan Peralihan :
Batas
waktu penyelesaian AYDA yang telah dimiliki BPR sebelum berlakunya Peraturan
Bank Indonesia ini, tetap mengacu pada ketentuan Pasal 23 ayat (2) Peraturan
Bank Indonesia Nomor 8/19/PBI/2006 tentang Kualitas Aktiva Produktif dan
Pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif Bank Perkreditan rakyat,
yakni paling lama 2 (dua) tahun terhitung sejak tanggal pengambilalihan.
d. Apabila dalam jangka waktu 1 (satu) tahun BPR
tidak dapat menyelesaikan AYDA maka nilai
AYDA yang tercatat pada neraca BPR, wajib diperhitungkan sebagai faktor
pengurang Modal Inti BPR dalam perhitungan Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum
(KPMM). BPR wajib mendokumentasikan upaya penyelesaian AYDA.
Contoh :
Pada tanggal 10 Januari 2012 BPR X
mengambil alih agunan yang diserahkan oleh debitur dengan nilai wajar sebesar
Rp. 100.000.000,-. Apabila hingga tanggal 9 Januari 2013 BPR belum
dapat menyelesaikan AYDA tersebut, maka pada perhitungan KPMM BPR X bulan
Januari 2013 AYDA senilai Rp. 100.000.000,- tersebut diperhitungkan sebagai
faktor pengurang modal inti BPR.
e. BPR wajib mendokumentasikan upaya
penyelesaian AYDA.
f. BPR wajib menerapkan perlakuan
Akuntansi pengambilalihan AYDA sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang
berlaku (mengacu pada SAK ETAP dan PA BPR).
g. BPR wajib memilii action
plan mengenai penyelesaian AYDA.
h. Ketentuan lama yang masih berlaku
adalah BPR wajib menilai AYDA pada saat
pengambil alihan agunan untuk menetapkan net relializable value.
i.
Penilaian
AYDA pada saat pengambilalihan agunan
dilakukan sebagai berikut :
1) Untuk AYDA dengan nilai sampai dengan Rp.
500.000.000,- dapat dilakukan oleh penilai intern BPR.
2)
Untuk AYDA dengan nilai di atas Rp. 500.000.000,- wajib dilakukan oleh penilai
independen.
Penjelasan
:
Yang dimaksud dengan penilai
independen adalah perusahaan penilai yang :
1) Tidak merupakan pihak terkait dengan
BPR.
2) Tidak merupakan kelompok peminjam
dengan Debitur BPR.
3) Melakukan kegiatan penilaian
berdasarkan kode etik profesi dan ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh
instansi yang berwenang.
4) Menggunakan metode penilaian
berdasarkan standar profesi penilaian yang diterbitkan oleh institusi yang
berwenang.
5) Memiliki izin usaha dari institusi
yang berwenang untuk beroperasi sebagai perusahaan penilai, dan
6) Tercatat sebagai anggota asosiasi
yang diakui oleh institusi anggota yang berwenang.
j. Penetapan nilai AYDA pada saat
pengambilalihan agunan untuk menetapkan net realizable value
diperhitungkan untuk setiap agunan.
k. BPR wajib melakukan penilaian kembali
secara berkala terhadap AYDA sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku,
dengan ketentuan sebagai berikut :
1) Dalam hal nilai AYDA mengalami
penurunan, BPR wajib mengakui penurunan nilai tersebut sebagai kerugian,
2) Dalam hal nilai AYDA mengalami
peningkatan, BPR tidak boleh mengakui peningkatan nilai tersebut sebagai
pendapatan.
Penjelasan :
Ketentuan mengenai penilaian kembali AYDA
mengacu pada SAK ETAP dan PA BPR.